Chapter 4

2K 217 69
                                    


Sembari mengancingkan lengan kemejanya, Joshua meraih jas di atas tempat tidur dan berjalan keluar dari kamarnya. Ia ke dapur untuk mengambil minuman, tapi di sana ia melihat lelaki itu sedang sibuk menyiapkan sarapan. Aroma telur goreng memenuhi ruangan, di atas meja Joshua juga melihat roti panggang dan segelas susu. Lelaki itu bersikap seolah-olah sedang berada di rumahnya sendiri, dia begitu santai melakukan apapun yang dia mau, bahkan pagi-pagi sudah bangun untuk membuat sarapan.

Jeonghan berbalik dan menemukan pria muda itu berdiri di pintu dapur. Dia hanya berdiri di sana, memandanginya dengan wajah tanpa ekspresi, ia memegang jas hitam di tangannya. Jeonghan sama sekali tidak merasa terganggu dengan tatapan dingin yang ditujukan padanya, Joshua memang selalu menatapnya dengan cara seperti itu. Jeonghan tidak mengerti apa yang membuat pria muda itu tampak tidak menyukai keberadaannya. Ia menduga karena pembagian warisan membuat pemuda itu memusuhinya. Jeonghan tidak peduli, karena dari awal ia tidak pernah menginginkan warisan itu. Apalah arti uang kalau orang yang ia cintai sudah tidak ada lagi di dunia ini.

"Kau mau berangkat kerja? Kemarilah, sarapannya sudah siap." Jeonghan tersenyum hangat pada pemuda yang hanya berdiri di pintu masuk dapur.

Joshua melangkah ke depan, tatapan dinginnya tak lepas dari wajah cantik yang tersembunyi cerah seperti matahari pagi. Apa dia tidak tahu rasa malu? Atau dia memang benar-benar bodoh? Dia terus berjalan ke depan, Jeonghan melangkah ke belakang saat pemuda itu semakin mendekat. Kakinya secara otomatis melangkah mundur saat Joshua mendekat, Jeonghan entah mengapa merasakan ketakutan. Ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan dingin yang mengintimidasi itu. Pemuda ini memiliki aura menghancurkan yang kuat, seolah-olah hawa dingin menusuk tulang selalu mengikuti di sekitarnya.

Jeonghan terus melangkah mundur sampai punggungnya menyentuh pintu kulkas. Ia tidak bisa melangkah mundur lagi. Jeonghan terus menunduk, menatap lantai di bawah kakinya, menghindari tatapan dingin yang tak lepas darinya.

Embusan napas pemuda itu jatuh di kulit wajahnya membawa merinding di sekujur tubuh. Jeonghan menekan punggungnya ke pintu kulkas, berusaha mengambil jarak dengan pria di hadapannya. Joshua mendekatkan wajahnya, berbisik di depan wajah lelaki itu.

"Kau tidak perlu merepotkan dirimu." bisiknya dingin. Dari jarak sedekat ini Joshua bisa mencium aroma harum lembut di tubuh lelaki itu, aroma yang begitu feminin. Dulu ayahnya mungkin juga sangat menyukai aroma ini. Joshua tiba-tiba terkekeh, sama sekali bukan tawa yang menyenangkan untuk didengar. Tawa itu justru membawa rasa ngeri pada orang yang mendengarnya. Ia menarik kepalanya menjauh, menikmati ekspresi ketakutan di wajah cantik itu. Jeonghan tidak berani mengangkat kepalanya.

Lelaki itu menyusut ketakutan saat Joshua mengulurkan tangannya, Jeonghan merasakan jantungnya berdegup kencang karena ketakutan. Setelah beberapa saat Jeonghan baru menyadari bahwa dirinya menghalangi pintu kulkas, pemuda itu mengulurkan tangan hanya untuk membuka pintu kulkas yang terhalangi olehnya. Dengan gugup ia bergeser ke samping, Joshua hanya mengangkat tangannya untuk membiarkan lelaki itu menyingkir dari hadapannya. Sikapnya dingin dan tidak peduli.

Jeonghan hanya berdiri di sebelah kulkas saat pria itu sedang meminum air dingin. Ia kembali memasukkan sisa air ke dalam kulkas dan berbalik pergi sembari memakai jasnya. Setelah melihat punggung pria itu menjauh, Jeonghan diam-diam baru bisa mengembuskan napas lega. Tekanan di udara yang tadi terasa berat seolah menguap, Jeonghan kembali menyandarkan punggungnya di pintu kulkas, merasa seluruh tubuhnya lemas. Ia memandangi sarapan di atas meja yang telah ia siapkan untuk Joshua, telur ceplok dan sosis goreng, roti gandum panggang, segelas susu hangat.

***

Tiga hari setelah pemakaman ayahnya Joshua mulai bekerja di perusahaan. Menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin utama perusahaan. Ini sudah satu minggu ia duduk di posisi barunya. Sekretaris ayahnya membantu pekerjaan Joshua, memberitahu apa saja yang perlu dan harus ia kerjakan. Karena memang Joshua masih tidak tahu apa-apa, ia tidak berpengalaman dan masih sangat hijau di bidang ini. Tapi, ia adalah putra satu-satunya, semua tanggung jawab diletakkan di pundaknya. Ia dituntut cepat beradaptasi dengan keadaan, karena sejak kecil ia sudah diajarkan seperti itu oleh kehidupan yang keras.

Dead Wood [JIHAN FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang