🐌 TGTHL '6'

75 5 1
                                    

*
*
*
HAPPY READING
*
*
*


Dinda mengerjapkan matanya, dengan gerakan pelan, dia memindahkan tangan kokoh yang melilit perutnya. Mengusap matanya yang sedikit bengkak, dan mulai memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai. Rasanya dejavu, terasa masih baru semalam dia melakukan hal yang sama seperti ini.

Dinda melangkah tertatih, mendekati pintu dan memutar kenopnya. Tapi nihil, pintu terkunci. Dinda menoleh, saat suara deheman seseorang terdengar di telinganya.

"Apa kau menganggap ku seperti Bi-- akh lupakan, maksud ku, kenapa kau selalu pergi saat aku masih tidur, kau tau itu menyakiti ku" Bryan tersenyum tipis terlihat menggemaskan tapi ada sedikit raut aneh yang membuat Dinda mengerjit.

"Mm-maaf saya mau pulang" Dinda menjawab dengan tergagap.

"Ini kan rumah mu, kemana kau mau pulang?" Bryan kembali menyeringai. Dengan gerakan lambat, dia duduk tak menghiraukan Dinda yang kembali gelagapan saat melihat roti sobek itu.

"Aaa... itu maksud saya, saya mau pulang ke rumah saya" Dinda memutar bola mata, mencari objek lain yang bisa dia pandang.

"Hem, coba lihat, itu foto siapa, dan itu meja belajar disana, mana mungkin aku memiliki kamar se-feminim ini" Bryan menunjuk beberapa bingkai foto yang tertempel di dinding, meja rias dan meja belajar.

"Hah, itu--i-tu, kenapa foto ku bisa ada disana" Dinda memandang dengan teliti lagi, dan ya ini kamarnya, kamar di rumah barunya dan Daniel.

'Sejak kapan aku disini' Dinda mengerjapkan matanya, dengan seribu langkah dia mendekati Bryan dan mencubit pipinya.

"Aish, kenapa sih, kau pikir itu tidak sakit" Bryan menatap garang tangan mungil Dinda.

"Ah, maaf tuan, kalau begitu kenapa anda, eh maksud saya, kenapa kita ada disini?" Dinda memandang bingung wajah Bryan.

"Hem, untuk memulai drama" Bryan kembali terkekeh, tapi kekehannya terdengar horor di telinga Dinda.

"Dinda, keluar kamu" suara teriakan Daniel menggema di depan pintu kamar Dinda yang tertutup.

'Baru saja aku bilang,,,, intinya selamat datang' Bryan tersenyum dan kembali melemparkan pandangan ke wajah Dinda yang memucat.

Bryan melemparkan kunci kamar ke arah Dinda, dan segera ditangkapnya. Dinda memandang wajah santai Bryan yang kembali berbaring, dengan kedua lengannya dijadikan sebagai bantal.

"Buka gih, kakak ipar dah marah noh" Bryan menunjuk pintu dengan dagunya.

Dengan keberanian yang ada, Dinda mendekati pintu, membukanya dengan kunci. Dan, hap... wajah Daniel yang memerah padam, dan rahangnya yang mengeras menjadi pemandangan awal yang dilihat Dinda.

"Di-din-da bisa jelasin bang, i-ini bukan seperti yang abang lihat" Dinda menunduk takut.

"Bukan kamu bilang, kamu sadar gak sih Din, mulai semalam, pas Abang pulang dari bengkel, abang denger suara menjijikkan kalian, abang bahkan menggebrak pintu, bahkan hampir merobohkannya, tapi kalian abaikan, kamu pikir ini tempat apaan Din?" Daniel hampir meneteskan air matanya.

"Kamu itu gimana sih Din, kamu kenapa jadi begini, atau.... jangan-jangan uang itu hasil dari kamu nge -jalang?" lanjut Daniel sambil meninggikan suaranya.

Dinda hanya bisa diam, hal itu membuat Daniel semakin yakin. Dengan gerakan cepat, Daniel membuka pintu lebar, menatap pria 'yang tingginya sama dengannya' sedang berdiri tepat di belakang Dinda. Hanya menggunakan celana jins berwarna hitam.

"Maaf, saya akan menjelaskan nanti, jangan mengatakan Dinda jalang, saya yang salah" Bryan berucap dengan nada tegas tetapi santai.

Bugh....

Satu kepalan tinju, melesat ke pipi kanan Bryan. "Bajingan" umpatnya dan segera keluar dari kamar itu.

*
*


"Jadi?" Daniel mengangkat alis, memandang malas dan kecewa dua manusia yang sedang duduk di sofa seberangnya.

"Saya akan menikahinya" Bryan menjawab dengan santai, dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada.

"Huh..." Daniel menghembuskan nafas, matanya menatap nyalang wajah sedih adiknya.

"Din, kamu gak mau jelasin sesuatu ke abang?" Daniel bertanya sambil memijat pelipisnya.

"Ma-maafin Dinda bang" hanya itulah kalimat yang terus keluar dari mulut Dinda semenjak dia keluar dan menyusulnya tadi.

Daniel hanya bisa menggerutu, menyalahkan dirinya yang tak bisa menjaga adik kecilnya yang sayangnya sudah dewasa itu.

"Menikah, kalian akan menikah, kamu tau pernikahan itu adalah hal yang sakral, atas kehendak Tuhan, dan gak bisa asal dilakukan dan dihentikan begitu saja" wajah tampan Daniel memerah padam.

"Dan,,, abang yakin Din, kamu dan dia-" Daniel menunjuk wajah Bryan.

"Gak saling mencintai, jadi bagaimana kalian mengatakan menikah, seakan itu hal sepele" Daniel mengacak rambutnya frustasi.

"Kami... saling mencintai, saya mencintai Dinda, begitu juga sebaliknya. Kami akan menikah, mohon restunya" Bryan berkata dengan lembut, nadanya tak setegas tadi.

Dinda bingung, jika dia mengatakan sekarang, bahwa itu tidak benar, maka Daniel akan kecewa karena Dinda telah tidur dengan laki-laki asing. Dan jika ia menyetujuinya, maka dia akan menikah dengan pria asing itu.

"Dinda apa itu benar?" Daniel memandang Dinda yang masih menunduk.

Tangan Bryan dengan cepat mencubit lengan kiri Dinda, seakan mengatakan untuk mengangguk saat ini. Dan akhirnya, Dinda mengangguk.

"Maaf bang, maafin Dinda, ini semua salah Dinda" Dinda menangis, tangannya menarik tangan Daniel yang masih mengepal.

"Dinda mohon bang, maafin Dinda" Dinda berlutut di samping Daniel, terus terisak sambil menggenggam tangan Daniel.

"Huft, mau gimana lagi. Hal ini juga sudah terjadi, tak bisa terulang, intinya kalian lakukanlah apa yang paling baik" ucapnya sambil mengelus sayang rambut Dinda.

"Terimakasih, saya akan urus segala persiapan pernikahan kami, saya akan usahakan selesai dalam seminggu" Bryan menjawab dengan semangat. Tangan kirinya membungkus tangan kanannya yang mengepal.

Keduanya -Dinda dan Daniel- terkejut. Menoleh bersama menatap wajah serius Bryan.

"Se-seminggu?" Dinda bertanya dan dijawab anggukan oleh Bryan.

*
*
*
Vote komen share
*
*
*

~15 February 2021

WITH YOU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang