🐌 TGTHL '9'

45 4 0
                                    

*
*
*
HAPPY READING
*
*
*


Dinda mengoleskan betadine di luka pipinya. Sesekali dia meringis, menahan sakit.

"Heh, makan malam mana" Bryan menggedor-gedor pintu kamar Dinda dengan kuat.

"Aku sudah lapar, cepat buatkan untuk ku makanan" Bryan pun mendobrak pintu hingga terbuka.

Bryan mendekat ke arah Dinda dan menghempaskan tangan Dinda yang sedang memegang obat merah tadi.

"Manja banget sih, pakai di obati segala, entar juga sembuh" Bryan langsung menarik tangan Dinda dengan kuat, membawanya keluar kamar menuju dapur.

"Masak cepat, jangan malas jadi orang" Bryan pun menjauh dan mulai duduk di kursi sembari memainkan handphonenya.

Dinda hanya mampu menghela nafas dan mulai memasak.

"Tuan, bahan makanan kita sebentar lagi habis" Dinda mengucapkan kata itu sambil menggoreng kentang.

"Ya belanja 'lah, goblok banget sih, masa nanya begituan ke aku, aneh" Bryan menggerutu sambil menekan-nekan handphonenya dengan kuat, merasa geram.

"Tapi saya tidak punya uang tuan" Dinda menunduk takut, mendengar kalimat pedas apalagi yang akan dia dapat.

"Ya,,,, aku juga udah mikir gitu tadi, pasti mikirin uang, dasar cewek matre, pikirannya tentang uang doang" Bryan meletakkan handphonenya dengan kasar, mulai mengeluarkan dompet dari saku celananya.

"Ini, dua ratus ribu, kalau kamu butuh makan, belanja pakai uang mu sendiri, emang aku bapak mu" Bryan meletakkan uang itu di atas meja.

"Eh kamu belum kerja ya, kasihan, ya sudah aku kasih seratus ribu nih, kan kamu juga ART disini, jadi ya itung-itung gaji kamu, meski aku gak sudi sih, tapi demi kelancaran permainan ku, ya oke-oke ajalah" Bryan kembali meletakkan selembar uang seratus ribu.

'katanya orang kaya, kasih gaji seratus ribu doang' Dinda menggerutu dalam hati, memaki laki-laki iblis itu.

*
*

Setelah Bryan pergi ke kantor, Dinda berencana mencari pekerjaan paruh waktu. Dia berkeliling kota itu, menanyakan semua tempat tentang lowongan kerja.

Hingga pada akhirnya, dia menemukan sebuah toko penjual berbagai jenis boneka dan beberapa mainan anak-anak. Di sana sedang dibutuhkan karyawan tetap yang bekerja pada pukul sebelas siang hingga jam tiga sore.

Dinda menyetujui hal itu, dan memilih mulai bekerja besok, karena tadi, dia belum sempat mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah ditetapkan Bryan.

Dinda segera pulang saat melihat jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Sesampainya di mansion mewah itu, dia langsung membersihkan seisi rumah, dan menyapu halaman depan dan belakang, tak lupa, membersihkan kolam.

Dinda selesai mengerjakan semua itu setelah jam lima sore. Dengan kecepatan tinggi, dia menuju dapur dan langsung memasak makan malam, masakannya seadanya aja, karena memang uang yang diberikan Bryan pas-pasan.

Setelah jam enam, suara mobil Bryan terdengar. Dinda dengan cekatan menghidangkan makanan di atas meja, dan langsung naik ke kamar Bryan, menyediakan air untuk mandi, dan juga pakaian Bryan.

*
*

Bryan memakan makanan di depannya dengan wajah datar, meski akhir-akhir ini dia menolak makan di luar saat di ajak temannya. Karena, dia mulai terbiasa dengan masakan Dinda, belum lagi teh hangat yang membuat perutnya enak. Tapi dia tak mau mengubah ekspresi, karena tak ingin Dinda tau dia suka masakannya, yang dia katakan kampungan itu.

"Dari mana saja kau seharian ini?" Bryan bertanya sesudah dia meneguk habis teh hangat di depannya.

"Saya di rumah aja tuan" jawab Dinda mencoba menghilangkan kegugupannya.

"Yah, semoga setelah kau melihat ini, kau akan mau menerima hukuman dari ku" Bryan mengeluarkan handphone dan menunjukkan sebuah foto tepat di depan wajah Dinda.

Dinda terkejut melihat foto dirinya, naik ojek online. Pasti itu hasil foto dari satpam tadi. Dinda merutuki diri, tak mengingat bahwa ada satpam penjaga di depan.

"Jawab, ini siapa? Ini hantu?" Bryan membentak Dinda dengan suara keras.

"Itu, a-anu-" Dinda tergagap tak tau mencari alasan.

"Oh iya tuan, saya kan tadi membeli bahan makanan" Dinda 'pun mampu bernafas lega saat mendapatkan jawaban yang pas.

"Wah, kau membeli seluruh isi supermarket nya?" Bryan tersenyum sinis, dan segera beranjak dari duduknya. Mengambil laptop dari tas kerjanya.

"Ini apa, kau pergi dari rumah saat aku pergi ke kantor, dan kau baru pulang setelah jam satu siang" Bryan menunjukkan rekaman cctv di sana.

Dinda memandang sekitar ruang tamu, dan ternyata ada beberapa cctv berukuran mini di berbagai sudut ruangan. Seketika Dinda kembali dilanda kebingungan.

"Terserah lah, lakukan apa yang kau suka, jadi aku bebas kan melakukan apa pun yang aku suka" Bryan menarik kasar rambut Dinda dengan tangan kanannya.

Dinda terpekik kaget, tangannya meraih tangan Bryan yang masih menggenggam helai rambutnya.

"Sa-sa-saki-t tuan" Dinda menangis tergugu, matanya memerah saking sakitnya tarikan itu.

"Sakit kan? Jadi jangan mencoba untuk membohongi ku j*lang" Bryan menghempaskan tubuh Dinda hingga terjatuh di atas lantai.

"Kalau kau mau menjual diri, jangan berangkat dari depan, keluar dari gerbang belakang, aku tidak mau ada orang yang melihat wanita mur*han keluar masuk rumah ku" Bryan menendang tulang kering kaki Dinda, dan segera beranjak dari sana.

Dinda seketika menangis, belum pernah di pikirannya hal ini akan terjadi.

'Tuhan, aku tau, Kau tidak akan membuat cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Mu'

Dinda terus menangis, sambil memukul pelan dadanya yang terasa sakit. Hal itu disaksikan Bryan dari atas sana, perempuan itu, perempuan yang masih memiliki tempat di hatinya, tapi benci dan dendam lebih besar, hingga menutupi rasa yang sudah lama ada itu.

'Kau adalah orang yang membuat orang lain menjadi iblis'

*
*

Bryan menatap foto masa SMA'nya, foto bersama seorang laki-laki yang tingginya sama dengannya, seorang laki-laki berkacamata, laki-laki yang memiliki senyum hangat dan manis. Laki-laki yang selalu memberinya semangat, dan selalu menemaninya saat dia senang ataupun sedih.

"Kak, aku harus gimana?" Bryan memandang sendu foto itu.

"Apa yang kulakukan ini salah?, Tapi, karena dia... Karena dia..." Bryan menangis tak mampu mengucapkan kata selanjutnya, dia terisak sambil memeluk foto yang terbingkai rapi itu.

Dinda memandang bingung tubuh Bryan yang bergetar, hatinya terasa ikut sakit saat melihat iblis yang menyamar jadi suaminya itu menangis.

'Kenapa kamu menangis, kamu adalah iblis, jangan menangis, iblis tidak boleh menangis bukan?' Dinda memegang kuat sisi pintu, dan memilih bersender di dinding.

Dia kembali teringat penyiksaan Bryan yang dia dapatkan. Bagaimana bisa dia masih mengatakan jangan menangis pada pria yang sudah membuatnya menangis, apakah dia terlihat seperti wanita yang sangat begitu bodoh?

'Tidak bisakah satu hari saja, satu hari saja kamu bersikap manis, supaya aku bisa sedikit melupakan rasa sakit ini' Dinda kembali terisak pelan, sambil terus mengusap pipinya yang basah.

*
*
*
VOTE KOMEN SHARE ♡
*
*
*

~18 February 2021

WITH YOU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang