🐌 TGTHL '16'

46 4 0
                                    

*
*
*
HAPPY READING
*
*
*


"Pura-pura menolak saja, tetapi kau terus bermain di luar sana jalang" sungguh Bryan sudah gila, dia tak tahu cara mengontrol dirinya lagi. Entah sejak kapan dia membuka sabuknya dan mengambil ancang-ancang, melayangkannya tepat ke wajah Dinda.

"Kau memang menjijikkan" Bryan berdecih, dan meludahi kepala Dinda yang terduduk. Dinda meringis, memegang pelipisnya yang terkena ujung sabuk itu.

"Kau itu adalah jalang, dan beban kehidupan kakak ku" Dinda tetap diam, meski banyak pertanyaan muncul di kepalanya.

"Bian meninggalkan aku karena kamu jalang, karena kamu" Bryan mengatur nafas. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Bryan menarik paksa tangan Dinda, dan membawanya ke kamar kumuh perempuan itu.

"Bi--Bian?" Dinda terbata mengucapkan nama itu. Bryan yang sudah sangat marah menghancurkan seisi kamar, melemparkan beberapa barang ke arah Dinda yang masih duduk di lantai.

'Nama itu terasa familiar' batin Dinda sambil menggumamkan nama Bian.

Matanya yang sembab menatap nyalang wajah Bryan yang mengeras, perlahan tangan Bryan yang masih menggenggam ikat pinggang itu terangkat.

Melayang hingga ujung ikat pinggang itu mengenai pipi kanan Dinda. Dinda meringis, sakit akan cambukan dua menit yang lalu di pipi kirinya belum reda, tetapi sakit yang lebih besar kembali datang.

Bryan dengan kemarahan besar itu masih belum sadar, akan apa yang dia lakukan. Kesadarannya seakan terus mendorongnya untuk membunuh orang di depannya ini.

Suara hembusan nafas terdengar di telinga Dinda. Awalnya Dinda pikir bahwa Bryan sudah lelah akan hukuman hari ini, tapi saat matanya memandang Bryan yang mengepalkan tangannya, pikiran positifnya langsung hilang.

Bryan memukulkan tinjunya ke lengan kiri Dinda. Dinda yang awalnya menangis pelan semakin sesunggukan. Derai air mata terus keluar, membasahi pipinya yang sudah memerah menahan sakit. Lengan kirinya berbekas, meninggalkan warna disana.

"Mari kita sudahi ini, bagaimana jika hari ini kau memohon kepada ku untuk mati saja, atau hal seperti ini akan berulang hingga kau mati secara perlahan" ucapan Bryan membuat Dinda tersentak.

'Apa aku mati saja, tapi bagaimana dengan janin ini?' batin Dinda bergejolak, rasanya ia ingin hidupnya diakhiri oleh Bryan daripada dia yang akan bunuh diri nantinya, itu akan menambah dosanya yang sudah terlalu banyak.

Tapi di lain sisi, jika dia mati otomatis janin itu juga terbunuh, dia tak tega membunuh janin yang begitu berharga baginya, janin yang baru di ketahui keberadaannya tiga hari yang lalu, janin yang masih baru berumur tiga bulan itu, dan jangan lupakan janin yang membuat Bryan semakin murka melihatnya karena dia merasa sensitif tadi, dan dengan refleks menampar wajah Bryan saat laki-laki itu hendak menciumnya.

"Ayo jawab, jangan diam saja jalang" Bryan mencengkeram rahang Dinda, saat Dinda mengalihkan pandangannya ke samping.

"A-aku be-lum mau mati" jawab Dinda, hal itu membuat seringai di wajah Bryan semakin lebar.

"Yaahhhhh!!!!, tapi tak apa, aku juga tidak akan kehilangan budak ku, hingga kau sendiri yang mengakhiri hidup mu" setelah mengucapkan hal itu, Bryan keluar dari kamar Dinda meninggalkan Dinda yang hanya diam.

Kepala Dinda terasa penuh, ingatan masa lalu kembali mengisi kepalanya. Ingatan tentang seorang laki-laki, laki-laki yang pernah menemaninya selama satu tahun, dan terakhir selama selama satu hari penuh, menikmati hari terakhir sebelum dia meninggalkan dunia untuk selamanya.

WITH YOU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang