🐌 24 •|Baby °~°|•

29 2 1
                                    

\•\_/•/

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Sudah tiga bulan terlewati sejak pertengkaran hebat antara Bryan dan Dinda.

Sudah dua bulan lebih Dinda dilepaskan ikatannya, tetapi akses masuk dan keluar rumah sangat dibatasi. Bryan sudah mempekerjakan lima orang penjaga untuk berjaga di gerbang depan dan belakang. Tak lupa, tiga orang asisten rumah tangga juga.

Perut Dinda sudah sangat membuncit. Perkiraan lahirnya mungkin bulan ini, karena Dinda juga sudah lama merasakan tendangan-tendangan kecil di perutnya. Mereka sudah tidak pernah lagi pergi periksa ke dokter.

Hari-hari masih biasa, hanya saja ada yang berbeda dengan Bryan akhir-akhir ini. Setelah pertengkaran mereka waktu itu, Bryan sudah menjaga cara berbicara dan cara bertindaknya. Lebih lembut, perhatian dan juga murah senyum.

Sayangnya, sudah dua minggu Bryan lembur di kantor, mereka sudah jarang bertatapan, dan berbincang singkat seperti dulu-dulu.

Dinda percaya saja dengan semua alasan suaminya. Tapi, saat matanya melihat pemandangan di depannya, seketika kepercayaannya itu pecah, seperti gelas yang di jatuhkan dari atas meja.

Disana, Bryan sedang duduk bersama seorang wanita cantik, keduanya terlihat saling melempar senyum. Dinda bisa saja berpikir positif sekarang, tapi masalahnya Bryan sudah mengatakan kalau dia ada rapat dengan beberapa kliennya saat ini, bukan dengan satu klien.

Mata Dinda berkaca-kaca, tangannya mengusap perut, merasakan tendangan kecil disana. Jangan tanya kenapa Dinda bisa ada diluar sekarang, itu semua karena paksaannya kepada seorang penjaga untuk membelikan beberapa sepatu dan kaos kaki, karena Dinda lupa untuk memesan online barang itu untuk persiapan anaknya nanti di rumah sakit.

Dinda berbalik, tak lagi berniat memasuki mall yang ramai itu. Otaknya menyalahkan pemilik mall, yang membuat kafetaria di lantai satu, yang selalu dilewati jika ingin berbelanja di mall itu.

"Sialan." Maki Dinda sambil memegangi perutnya, berjalan cepat menuju parkiran mobil.

"Dinda, hei tunggu." Suara panggilan Bryan dia hiraukan. Mulutnya kembali mengumpati penjaga yang bisa-bisanya sempat laporan kepada Bryan saat-saat seperti ini.

Dinda sudah membuka pintu, tapi sayang karena kepanikan Bryan yang takut Dinda salah paham, malah membuat pria itu mendorong pintu dan berakhir membentur pinggul wanita itu.

"Awhsshh." Dinda memegangi perutnya yang terasa nyeri, tangannya meraba pinggulnya yang terasa panas akibat benturan.

"Kok bisa perutku yang sakit? Bukannya yang ke bentur itu pinggul." batinnya sambil memegangi perutnya yang bertambah nyeri.

"Di-dinda... Darah." Bryan berteriak panik saat ada setetes darah jatuh dari selangkangan wanita itu.

"Ayo, cepat bodoh." Bryan langsung memapah Dinda dan memanggil penjaga tadi dengan panik.

"Ya Tuhan, saya mohon jagalah mereka." Gumam pria itu sambil mengusap-usap perut Dinda yang katanya nyeri.

Sepanjang perjalanan, Dinda hanya mendesis nyeri sambil menangis kecil. Hingga di d pan rumah sakit, wanita itu pingsan.

|•|_|•|

Bryan terdiam sambil menempelkan telapak tangannya di kaca inkubator. Matanya melihat tubuh kecil anaknya yang terlihat menggeliat pelan, tak banyak pergerakan.

"Kita harus melakukan operasi, kalau tidak anak anda bisa-bisa tak terselamatkan. Lebih baik prematur daripada harus merenggang nyawa seperti ini."

Itulah kata dokter, saat Dinda diperiksa tadi. Akhirnya bayi berjenis kelamin laki-laki itu pun bisa diselamatkan, meski keadaannya yang terlihat kesusahan bernafas.

"Laki-laki yang kuat." Tambah dokter tadi setelah memasukkannya ke dalam inkubator.

Bryan hanya diam, terpaku menatap putra kecilnya.
"Papa harap kamu bisa jaga mama nak, papa hanya bisa menyakiti dia terus-menerus. Doakan mama supaya cepat sadar ya, papa khawatir." Bryan mengusap sudut matanya yang berair.

Kenapa begini?

Muncul perasaan bersalah saat dia mengingat akhir-akhir ini dia terbuai dengan rayuan setan. Menyuruhnya berselingkuh, dengan alibi lebih nyaman.

"Kenapa ngomong gitu? Kamu mau pergi? Mau ninggalin kami?" Bryan tersentak saat mendengar suara lirih itu. Dengan cepat dia membalikkan badan dan bertemu tatap dengan wanita yang menduduki tahta tertinggi di hatinya selama ini. Wanita yang masih terlihat lemas itu memegang tiang infusnya, berdiri menatap Bryan dengan pandangan terluka.

"Bu-" Belum sempat Bryan bicara, Dinda langsung memotong lagi.

"A-apa gara-gara perempuan itu? Hiks, apa gara-gara dia Bry?" Dinda terisak pelan sambil meremas ujung bajunya.

Bryan cukup terkejut mendengar pertanyaan Dinda. Sumpah, demi apapun dia hanya mengucapkan kalimat asal tadi kepada anaknya. Bryan ingin anaknya lebih menyayangi Dinda daripada dirinya sendiri.

"Apa sebenarnya mau mu Bry, katakan... Aku gak mau jadi orang jahat disini, jika memang kamu suka atau cinta sama dia... Maka,,, lepaskan aku. Bukan gini, kamu malah memainkan hati orang."

"Dinda, dengerin dulu."

Bryan langsung menarik Dinda keluar dari tempat anaknya. Pria itu mengambil alih tiang infus, dan menuntun Dinda keluar. Bryan menarik Dinda ke dalam pelukannya, setelah keduanya sudah di luar ruangan.

"Aku hanya refleks tadi, aku hanya ingin anak kita gak seperti aku. Aku gak mau dia jahat sama mamanya." Bryan menenangkan Dinda dengan mengelus punggung ringkih itu, sambil mulai menuntunnya untuk duduk.

"Jujur sama aku Bry, aku gakpapa. Lebih baik terbuka sekarang, daripada nanti setelah lama baru menyesal."

"Ka-kamu ngomong apa sih?" Bryan ikut terisak sambil menghapus air mata Dinda yang sudah membuat pipi cantik istrinya basah.

"Aku tahu, selama pernikahan kita kamu gak benar-benar tulus menjalaninya." Dinda menutup wajahnya dengan kedua tangan, demi menutupi isakannya.

"A-aku-" Bryan tak sanggup berkata-kata. Dia juga masih dalam fase kebingungan dengan dirinya sendiri. Antara sudah mengikhlaskan atau hanya sekedar nyaman karena mendapatkan perhatian dari seorang istri.

Bryan yang menjadi manusia kaku setelah kembarannya berpulang, tak lagi merasakan kehangatan kasih dari sang ibu. Bukannya orangtuanya tak mau lagi memberi, tapi Bryan yang terkesan menjauhi dan menolak mereka.

"Apa sebenarnya mau mu?" Dinda bertanya dengan suara serak.

"Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk kota bicara. Kita sedang dalam kemarahan dan kebingungan yang memuncak. Jadi, tunggu semuanya tenang dulu baru kita bicara." Ucap Bryan sambil mengalihkan pandangan ke pintu ruangan anaknya.
Kemudian memasuki ruangan itu tanpa memperdulikan perempuan itu lagi. Matanya menatap lekat anaknya yang tertidur pulas di dalam inkubator.

"Huft, terserahlah." Dinda akhirnya pergi dari tempat itu. Dia juga tak mau mengambil langkah yang salah saat sedang marah dan kecewa.

"Aku harap aku tidak mengambil keputusan yang merugikan ku dan kita semua sayang." Ucap Bryan sambil terus menatap anaknya lekat. Seakan meminta kekuatan untuknya.

'Semoga saja hatiku benar-benar sudah mantap mengambil keputusan yang tepat.'

Kebingungan itu hanya Bryan yang bisa meluruskan. Bukan orang lain, karena semuanya berawal dari dirinya sendiri.

(•)_(•)

🌾🌾🌾

WITH YOU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang