🐌 TGTHL '14'

41 3 0
                                    

*
*
*
HAPPY READING
*
*
*

"Kenapa?" Bryan duduk bersimpuh di depan seorang perempuan.
"Kenapa kamu mau ninggalin aku?" Tanyanya dengan suara keras. Wajahnya sudah memerah, dan ada genangan air di kelopak matanya.

"Apa selama ini kau tidak mengharapkan ku? Apa kamu tidak mencintai ku?" Bryan menangis tangannya memeluk kaki perempuan di depannya dengan erat.

"Kumohon, kumohon jangan tinggalkan aku" Bryan masih terus meracau, memohon dan bahkan mengeratkan pelukannya pada kaki perempuan di depannya.

"Apa alasannya? Apa alasan yang pas untuk aku tidak meninggalkan mu?" Tanya perempuan itu dengan suara serak.

"Karena, kamu mencintai ku" Bryan berucap dengan lirih, dadanya sesak mengatakan hal tadi, karena kalimat itu masih kurang, seharusnya ada tambahan kata 'dan' sekaligus disusul kata-kata lain.

"Iya, aku sangat-sangat mencintai mu, sangat menyayangi mu, sangat mendambakan mu, tapi itu aku... bukan kamu" setelah itu, Bryan merasakan hampa, kaki yang sejak tadi di peluknya menghilang, membuat dia tersungkur dan menangis histeris.

"Jangan... Dinda... Kumohon sayang, kembali" Bryan masih terus menangis, berteriak histeris. Dia meraba sekitar yang gelap.

"Jangan tinggalkan aku lagi, aku tidak mau kehilangan. Dinda..."

"Huft..." Bryan menarik nafas, mengambil nafas lagi dan kembali menghembuskannya.

"Mimpi sialan" ucapnya dengan menyeka peluh di dahinya.

"Dia pasti tidak akan meninggalkan ku, pasti" Bryan mengatakan pasti dengan percaya diri, menepis jauh-jauh mimpi bodoh itu.

*
*

Bryan keluar dari kamar, hendak mendekati dapur yang masih sepi. Matanya melihat kanan-kiri, mencari keberadaan Dinda.

"Dinda?" Bryan memanggil nama Dinda dengan kuat.

"Dinda?" Teriaknya lagi, tapi masih tak ada sahutan.

"Apakah kamu benar-benar meninggalkan ku?" Kakinya tiba-tiba lemas, perlahan tubuhnya luruh ke lantai. Tangannya meremas dadanya yang terasa sesak.

"Kumohon" lirihnya dan mulai menutup mata.

"Tuan" Bryan dengan samar-samar mendengar suara itu, suara yang terdengar cemas dan sedih secara bersamaan. Bryan tersenyum dan mulai membuka mata sebentar, tetapi setelah itu dia merasa matanya berat dan perlahan menutupnya.

*
*

"Bagaimana keadaan teman saya dok?" Dinda bertanya heboh saat dokter perempuan itu keluar dari dalam kamar pasien.

"Apa anda bisa menghubungi keluarga pasien, ada hal penting yang ingin saya bicarakan" dokter tersebut menatap serius wajah Dinda.

Dinda bingung, dia tak tau Bryan memiliki keluarga atau tidak.
"Saya adalah satu-satunya keluarga pasien dok. Saya tidak tau tentang keluarganya" ucap Dinda lirih.

"Baiklah, kita bicarakan saja di ruangan saya, sekaligus mengambil resep" Dinda mengangguk dan mulai mengikuti dokter di depannya.

"Jadi begini Bu, tuan Bryan hanya kelelahan memang, tapi setelah saya periksa sepertinya tuan Bryan memiliki rasa trauma, entah karena apa, saya tidak tau, untuk kejelasan yang lebih rinci, anda boleh membawa tuan Bryan ke dokter yang bersangkutan" dokter di depannya memberikan sebuah kartu nama.

"Sebaiknya anda memaksa teman anda untuk konsultasi ke dokter ini, sebelum trauma itu semakin parah, dan bisa jadi memperburuk keadaan tubuh tuan Bryan" Dinda mengangguk saja, menerima kartu nama beserta resep obat.

WITH YOU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang