🐌 TGTHL '19'

44 2 0
                                    

-o0o-
HAPPY READING
-o0o-

"Mana bisa di percaya semudah itu, manatau kau sudah bermain-main di luar sana, siapa yang tau bukan?" Bryan mengedikkan bahu, dan di jawab anggukan oleh Dinda.

'Ya, sekali iblis tetap iblis bukan?' Dinda tersenyum getir dan dibalas smirk andalan Bryan sebelum dia pergi dari tempat itu.

•|•

Dinda memukul kepalanya pelan. Dia mulai mengingat sepenggal kisah masa remajanya.

"Bryan sayang banget kok sama Dinda!!" Dinda yang awalnya menangis sesenggukan karena mengingat tingkah Bryan yang menjauh, mulai mendongakkan kepalanya.

"Bian?" Dinda bergumam pelan, tak menyangka keluh kesahnya akan di dengar kakak kembar kekasihnya. Soalnya dia sudah bersembunyi ke belakang gudang sekolah hanya untuk meratapi nasib.

"Mungkin  Bryan lagi kilaf aja." Bian berusaha membujuk, tak mampu juga menatap Dinda yang asik terisak. Mungkin sedikit alay, tapi itulah namanya anak remaja labil dan kisah cinta pertamanya.

Dinda mengusap air matanya. Kepalanya pusing, banyak potongan-potongan berupa video berdurasi pendek berputar di dalam otaknya.

>/<

Bryan merasa sesak menghimpitnya, dia merasa kata-katanya tadi terlalu kasar. Apakah Dinda akan langsung terbawa perasaan?

"Dia bukan wanita manja dan lemah, pasti tak akan tersinggung dengan ucapan ku. Dan, tentang anak itu ... aku selalu mengurung Dinda di rumah ini, otomatis anak itu juga anak ku? Nanti aku coba test DNA setelah anak itu lahir." Ucapnya sambil menyesap kopi panas itu perlahan dan kembali meletakkannya di atas nakas.

Bryan saat ini sedang duduk diam di atas kasur kamarnya hanya bisa bergerak gusar. Dia merasa banyak hal mengganjal di hatinya, apakah mungkin kelakuannya sudah berlebihan? Terlebih lagi perlakuan kasarnya.

Padahal masih sangat sering hatinya dag-dig-dug saat di dekat Dinda. Menatap matanya saja dia sudah salah tingkah. Tapi Bryan bisa menutupi hal itu sebaik mungkin.

Bryan juga berharap dia akan puas dengan dendamnya. Bosan juga jika malah menabung kenangan-kenangan pahit seperti itu. Kapan lagi Bryan menyusun kenangan manis untuk Dinda. Bryan juga tak menyangkal, ada banyak rasa bersalah bersarang di dalam hatinya.

Dia selalu mengingat kalimat 'penyesalan selalu datang terlambat', Bryan tak mau hal itu terjadi. Menyesal setelah Dinda pergi atau hal-hal lainnya yang membuatnya tak suka.

Bryan akhirnya beranjak, memilih turun ke bawah untuk melihat keadaan perempuan yang membuat hatinya terombang-ambing, benci dan cinta secara bersamaan.

"Hiks..." Masih terdengar suara tangis. Suara yang terdengar parau dan serak.

Bryan meringis, mengusap tengkuknya dengan gerakan pelan.
'Kenapa lagi dia?' Gumamnya sambil mendekatkan kepala ke dekat pintu.

"Aku lapar!" Hanya itu kalimat yang Bryan ucapkan, dan seketika langsung membuat isakan kecil itu terhenti.

"Lima belas menit lagi aku turun, segera siapkan makanan." Bryan bergeser dan bersandar di dinding. Tak sampai dua puluh detik pintu itu terbuka, dan terlihat tubuh kurus itu keluar, dan berjalan dengan menunduk mendekati dapur.

'Ck... Seperti zombie saja' Bryan menggeleng-gelengkan kepalanya. Senyum kecil terbit di wajah tampan pria itu.

>\<

WITH YOU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang