20 - Who is She?

512 37 13
                                    

🌬

Tak henti-henti Lia berlatih di kamarnya, ia menginginkan semua berjalan dengan lancar, begitu juga dengan perihal jerawatnya. Tiap malam Lia selalu berdoa agar dirinya bisa melepaskan masker tersebut segera sebelum memulai pertunjukan pertamanya.

Lino yang sedang sibuk juga di kamarnya mengerjakan tugas itu pun tak henti memikirkan keadaan Lia. Ia cemas jika Lia tak kunjung pulih. Lia selalu menolak ajakan Lino untuk pergi ke dokter. Dia berkata tidak perlu-lah, berlebihan-lah, dan banyak alasan lagi yang membuat Lino sulit membujuknya.

Cukup sudah. Lino tahu apa yang terbaik untuk Lia. Mau tidak mau Lia harus pergi ke dokter. Baru saja Lino hendak membuka kenok pintu Lia, didapatinya Lia yang sudah terlebih dahulu membuka kenoknya itu dengan tergesa-gesa.

"Kenapa?!"

"Kecoa!" teriak Lia menunjuk-nunjuk tirai gordennya, sebab menemukan sebuah hewan menjijikkan sedang menguasai gordennya.

"Lino sapu Lino sapu!" Lia mendorong Lino yang juga ikut panik akibat sebuah hewan kecil itu.

Bukannya beraksi, Lino malah memanggil asisten rumah tangganya untuk membantunya mengeluarkan hewan itu. Menggelikan bagi Lino untuk berhadapan kembali dengan kecoa.

"Saya kira apa, ternyata kecoa toh," kekeh asisten rumah tangganya dengan tangan terbalut sarung tangan sembari memegang kecoa itu layaknya memegang sebuah kurma.

Lia menyingkir dari hadapan asistennya, berlindung di balik punggung Lino. Setelah insiden ini berakhir, Lino kembali mengingat tujuannya pergi ke kamar Lia. Namun, Lino melihat Lia tidak memakai masker, bahkan ia terlihat baik-baik saja tanpa keluhan batuk, pilek, dan sebagainya.

Lino tersenyum melihat wajah Lia yang tak ditutupi masker. Lia sendiri masih tidak menyadari bahwa dirinya sedang kepergok berbohong. Ia masih memperhatikan asistennya itu agar membuang hewan kecil itu jauh dari kamarnya.

"Jadi, ini yang namanya flu? Atau ...." Lino menunjuk batang hidung Lia.

Lia mengarahkan kedua bola matanya perlahan pada Lino, lalu menurun menuju telunjuk Lino yang menunjuk hidungnya. Skak mat. Lia tak akan bisa lari dari Lino. Rencananya benar-benar gagal untuk menyembunyikan si kecil dari orang-orang. Kini Lino tahu, maka selanjutnya Lino akan membeberkan hal ini pada teman-teman Lia.

Lia memejamkan matanya, kepalanya tertunduk dan giginya menggigit bibir bawahnya. "Aish, ceroboh banget gue!" gumamnya.

Lino senang sekaligus tersenyum puas mengejek Lia. Setidaknya Lia tidak benar-benar jatuh sakit. "Sebegitu khawatirnya lo sama jerawat itu sampe pura-pura sakit di depan semua orang?" ucap Lino berpura-pura kecewa terhadap sikap Lia.

Lia masih menunduk.

"Gue khawatir sama lo, Lia. Gue bujuk ke dokter, gamau. Gue beliin obat, ga diminum."

"Ya tapi emang ga seharusnya sih lo minum obat."

"Kan lo ga sakit." Lino sangat puas mengejek pacarnya saat ini. Mungkin cara ini bisa dibilang sebuah sanksi jika salah satu dari mereka berbohong.

"Yaudah gue minta maaf!" Lia masih menunduk sembari berjalan menuju kamarnya, hendak menyudahi malunya pada Lino.

"Lah?"

Lino membuntuti Lia. Ia berjalan mengikuti Lia, menantikan klarifikasi yang seharusnya perlu dijelaskan padanya. Namun, dengan tidak sengaja Lia memberhentikan langkahnya, membuat Lino mau tidak mau mengerem mendadak. Alhasil, kepala Lia terpentok dada Lino sehingga membuat Lia kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh tepat pada sofa dekat tempat tidurnya. Lino yang hendak menolong Lia pun ikut terjatuh, sehingga badannya hampir menimpa badan Lia yang kecil itu. Untungnya Lino menyigapkan kedua tangannya untuk menopang berat tubuhnya.

Forced || Lia × LinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang