23 - Changed

172 14 0
                                    

Selamat membaca
Jangan lupa vote dan komen

🌬

"Lino, gue agak capek. Kita pulang aja ya?"

Rencana yang sudah disiapkan Lino untuk membawa Lia bersenang-senang malam ini lenyap sudah. Perkara surat perjanjian yang tanpa sengaja sampai di tangan Lia membuatnya tidak bisa mengembalikan suasana. Perjalanan pulangnya saat ini hanya dipenuhi dengan suara dari radio yang menyala.

Pandangan Lia sepanjang perjalanan pulang hanya memandang bus dan beberapa mobil yang berjalan searah. Ia menyadari bahwa kendaraan yang berlalu lalang dengan arah sama, belum tentu memiliki tujuan yang sama. Tidak ada yang tahu kemana kendaraan-kendaraan tersebut akan mencapai tujuannya, kecuali pengemudinya sendiri.

"Lia, maafin gue." Lino melingkarkan lengannya dari balik punggung Lia, mendekap Lia dengan wajah sendunya.

"Gue benci diri gue sendiri. Hari ini, yang harusnya gue bikin lo seneng, tapi malah-" Ucapan Lino terhenti ketika Lia menarik kedua tangan Lino untuk mendekapnya lebih erat. Lia mengusap-usap jari jemari Lino, memandangnya lekat dengan surai yang tak sengaja menutupi wajah sendunya.

"Siapa pengantinnya? Cantik?"

"Lia? Maksud lo ngomong kayak gitu apaan?"

Lino memprotes, saat ini ia sudah berdiri di hadapan Lia. Surai Lia dirapikan oleh Lino, lalu berpindah untuk meraih kedua rahang Lia agar kedua maniknya saling bertatapan.

"Lo tau kalo gue sayang banget sama lo, kan?"

"Gue ga akan terima semua itu, Lia. Lo cuma perlu ngasih gue waktu. Gue akan selesaiin semua ini tanpa ngerusak hubungan kita." Lino percaya bahwa ia bisa menyelesaikan semuanya dengan baik. Ia menolak dengan keras untuk berpisah dengan Lia.

"Lia, percaya sama gue, hm?" Lino mengelus lembut pipi Lia, berharap agar Lia tidak memikirkan hal buruk yang kemungkinan terjadi.

Lia tersenyum simpul pada Lino dengan maniknya yang berkaca-kaca, nampak jelas.

"Lino, gue mau satu pelukan."

Lino tanpa berlama-lama, ia melingkarkan lengannya pada tubuh mungil Lia, membiarkan Lia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Lino. Setidaknya Lia tidak menangis di hadapan Lino.

Beberapa jam kemudian, Lia terbangun dari tidurnya, sepertinya cukup melelahkan setelah pementasan ditambah emosinya yang terkuras setelah menangis. Lia melangkahkan kakinya menuju kamar Lino yang letaknya tak cukup jauh dari kamarnya itu.

Pintu Lino yang selalunya tidak terkunci itu memudahkan Lia untuk sekedar menengok Lino. Biasanya Lino akan mengerjakan projeknya hingga dini hari dengan lampu menyala total. Namun, kali ini dilihatnya oleh Lia, Lino tidur dengan tentram, bahkan tak mengganti pakaian yang dikenakannya sejak sore tadi.

Lia menggigit bibir bawahnya, mengingat perkataan ayah Lino dua hari yang lalu. Benar, Lia mengetahuinya lebih awal ketimbang Lino.

"Bagaimanapun kita sudah membicarakannya, Pengacara Lee. Aku ingin anakku dengan anakmu menjalani pernikahan. Kau sendiri tau bahwa pernikahan ini tidak hanya menguntungkan satu pihak saja, bukan?"

"Tentu saja, Pengacara Park."

Lia sempat mendengar percakapan itu ketika dirinya hendak bertemu dengan ayah Lino untuk sekedar memberikan undangan untuk datang ke pertunjukan teaternya.

Akan tetapi, Lia mengurungkan niatnya untuk menemui ayah Lino hari itu.

"Gue minta maaf, No. Selama ini gue ga ngasih tau lo perihal ini." Lia berucap dari balik pintu dan masih memandang Lino yang tertidur dengan damai itu.

Forced || Lia × LinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang