Part 53

13 4 0
                                    

Seno memasuki kantor bersama adiknya. Para karyawan berdiri berjejer menyambut kedatangan mereka. Ini bukan pertama kali ia menginjakkan kaki namun kebiasaan para karyawan saat menunggu kedatangannya di pagi hari.

Seorang petugas membukakan pintu lift khusus direksi. Seno memasuki diiringi Sakti di belakangnya.

"Li. Gimana ... aman semuanya di Medan?"

"Iya Bang. Maaf gue ga langsung laporan ke rumah. Datang udah malam jadi langsung istirahat di aparteman."

"Ga apa-apa. Thanks ya... Gue udah banyak dibantu selama berada di rumah sakit. Dari awal gue yakin Lo mampu. Tapi Lo ga tertarik bekerja di perusahaan, ya gue ga mau maksain."

"Sama-sama Bang. Hanya itu yang bisa Ali bantu. Tapi bagi gue, Lo adalah the best."

Seno menepuk pundak saudara kembarannya dengan bahagia dan bangga. Meskipun selama ini Dia memilih untuk mengelola bisnis dalam bidang seni namun dengan musibah yang menimpanya, ia tau jika kemampuan adik sangat baik. Ia juga meminta sang adik untuk tetap bergabung dan membantu perusahaan terutama selama masa pemulihannya.

Ting.... pintu lift terbuka.

Seno keluar terlebih dahulu. Dari kejauhan ia melihat sekretaris berjalan ke arahnya.

"Pagi Pak Seno... Pak Sakti."

"Maaf Pak. Hari ini rapat dimulai pukul sembilan. KITA gunakan ruangan di lantai 10." ujar orang itu.

"Belum selesai juga ruang meetingnya?"

"Berdasarkan informasi sore ini sudah selesai dan dapat digunakan Pak." jawab orang itu.

"Baik. Saya siap-siap dulu." Seno berkata seraya berjalan kembali menuju ruangannya.

"Bang, Ali ke ruangan dulu. Ambil berkas dulu.

Seno memasuki ruang kerja. Ada beberapa file yang disimpan di laci meja. Setelah menemukan yang dicari ia pun keluar ruangan dan menuju tempat rapat.

###

Tok... Tok

Seno membuka ruang kerja adiknya. Ia melihat sang adik seperti sedang berbicara dengan seseorang. Terlihat dari earpods di telinganya. Tak ingin mengganggu Seno pun memilih duduk di sofa. Ini kali pertama ia memasuki ruang kerja adiknya. Tidak banyak peralatan di dalam ruangan.

"Maaf Bang."

Suara itu membuat Seno mengacungkan jempolnya. Melihat sang adik sedang mempersiapkan laporan, Seno pun beranjak dari duduknya dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Sakti. Di saat itu matanya tak sengaja menatap pigura di tepian meja kerja yang menghadap ke si empunya ruangan.

Deg

Jantung Seno tiba-tiba berdetak kencang. Ia memegang dadanya untuk memastikan semua baik-baik saja. Di helanya napas perlahan seraya menutup mata.

"Bang, Lo kenapa? Apa yang sakit?"

Kalimat Sakti membuat Seno membuka matanya. Ia terlihat kecemasan di wajah adik kembarnya.

"Tenang aja. Gue ga kenapa-napa. Li ... udah siap berkasnya?"

"Udah. Ini Bang."

Seno pun bangun dari duduk dan berjalan lebih dahulu. Sesampainya di pintu luar nampak beberapa orang sedang menunggunya. Mereka pun segera berjalan memasuki pintu lift yang terbuka.

Pintu lift menutup. Seno kembali memegang dadanya. Ia masih merasakan jantung bergetar di luar kebiasaan. Dirinya ingat betul sudah lama rasa itu pernah ada. Namun ia berusaha mematikannya.

"Mari Pak."

Tersadar dari lamunan Seno berjalan diikuti yang lainnya menuju ruang rapat. Sesampainya di sana, sudah berkumpul sepuluh orang dengan posisi berdiri menyambut kedatangannya.

"Silakan." Ucapnya kepada peserta rapat setelah ia duduk di kursi rapat.

Satu persatu memberikan laporan kerja perbulan. Ia bersyukur semua hasil mengalami kenaikan. Meskipun ia tidak dapat hadir seratus persen di perusahaan namun para pegawai dan staf sangat bekerja dengan baik. Ia juga mengakui jika Sakti, adiknya sudah mampu memimpin perusahaan dengan baik.

###

"Bang. Maaf Ali ga bisa temani makan siang. Tadi Mami hubungi Ali untuk ke rumah. Setelah itu, Ali ada janji dengan Pak Budi, Beliau akan menyerahkan hasil perbaikan proposalnya. Mungkin Ali ga ke kantor lagi. Tapi Ali akan temui Abang di rumah."

Kalimat sang adik dijawab dengan anggukan. Tak lama ia melihat Sakti meninggalkan ruangan. Selang sepuluh menit, pintu ruangan di ketuk kembali.

"Siang Al."

Seno terkejut melihat siapa yang datang. Alexandra berjalan ke arahnya dengan paper bag di tangannya.

"Al. Aku bawain makan siang buat Kamu sama Ali. Tetapi kata sekretaris Kamu bilang Ali baru saja keluar ruangan."

"Terima kasih San. Kamu ga perlu repot."

"Ga kok. Aku malah senang bisa temenin makan siang Kamu."

Seno melihat perempuan di hadapannya menyiapkan makan siang. Ini kesekian kali Alexandra dapat membawa makan siang untuknya. Ia tidak pernah memintanya. Perempuan itu selalu hadir tiga puluh menit sebelum makan siang dimulai. Pernah ia menolaknya namun perempuan itu terlihat kecewa.

"Al... aku mau ajak Kamu ke suatu tempat. Kamu masih ada kegiatan siang ini?"'

"Tidak ada."

"Besok anniversary Papi. Tetapi sebelumnya, aku mau beliin sesuatu. Aku perlu pertimbangan Kamu. Karena selera kalian itu sama. Apa yang Kamu suka... Pasti Papi suka. Kamu bisa bantu Aku?"

"Baik. Aku temenin Kamu."

"Terima kasih ya Al."

Seno melihat senyum di wajah perempuan itu. Di saat itu ia memegang dadanya kembali. Mencoba menyamakan detaknya dengan peristiwa di ruangan Sakti. Namun.... Ia tak mampu mengenalinya. Padahal jarak Seno dan Alexandra begitu dekat. Bahkan parfum dari perempuan itu kencang masuk ke hidungnya.

To be continue

Melodi Cinta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang