Part 20

48 7 0
                                    

Semalaman Sakti tidak dapat memejamkan matanya. Entah apa yang membuat kegelisahannya. Padahal esok hari adalah pernikahannya. Ia merasakan keputusannya untuk mengiyakan adalah bukan keputusan yang tepat. Terlebih usia gadis itu masih belia. Namun ada rasa yang membuat ia tidak menolaknya. Entah apa itu, Sakti belum mampu menganalisisnya.

Tok... Tokkk

Sakti berjalan membuka pintu. Nampak Seno dengan pakaian lengkap.

"Baru pulang Bang?"

"Iya. Lo kenapa belum tidur?" Tanya balik Seno.

"Ga apa-apa Bang. Sebentar lagi, gue tidur." Ucap Sakti.

"Oke... gue Cuma mastiin doing kalo Lo belum tidur. Li... Lo dah pikirin untuk besok?"

"Insya Allah Bang. Gue minta doanya. Gue harap Lo jadi pendamping. Lo gantikan posisi Papa" Pinta Sakti.

"Iya. Gue balik dulu ke kamar." Ujar Seno.

###

"Li.... "

Ketukan pintu membuat Sakti bergegas mengambil jas hitam yang tergantung. Dibuka pintu Nampak Nyonya Mutia dengan dress broken white.

"Sudah siapa?"

"Sudah Mam. Bang Al mana?" Tanya Sakti.

"Abangmu sedang sarapan. Ayooo."

Mereka berjalan menuju lift yang akan membawa ke lantai utama. Mereka segera bergabung di meja makan yang besar itu.

Tak lama beberapa kerabat datang. Nyonya Mutia memang mengundang kakaknya untuk hadir. Tidak lupa juga adik dari almarhum suaminya. Baginya ingin membagikan kebahagian walaupun bersifat pribadi.

Sekitar jam delapan pagi mereka meninggalkan kediaman Nyonya Mutia. Sakti dan Nyonya Mutia semobil dengan sopir. Seno menggunakan kendaraan sendiri. Paman-pamannya menggunakan dua kendaraan yang berbeda.

"Li... kalau Mam punya salah tolong Ali maafkan ya. Mungkin Ali menerima ini dengan paksaan tetapi Ali tidak mengeluh atau menolaknya." Ujar Nyonya Mutia.

"Mam.... Ali yang salah. Ali yang buat Mam mengambil keputusan ini. Maafkan Ali yang merusak kepercayaan Mam."

Sakti memegang erat lengan lembut yang memberikan rasa aman. Wajah perempuan di hadapannya tidak mampu menahan laju airmata. Dihelanya basah pada pipi Nyonya Mutia.

"Doa Mama hanya satu, Ali dan Milli hidup bahagia dan rukun hingga maut memisahkan. Komunikasikan segala hal. Jangan ada yang kalian tutupi dalam rumah tangga. Jangan bertahan dengan ego masing-masing. Adakalanya Ali yang mengalah, atau sebaliknya. Ali bisa mencontoh Papa yang memperlakukan mama dengan baik."

Barisan kalimat yang terlontar diresapi dengan baik. Bagi Sakti pigur orang tuanya begitu sempurna di matanya. Saling melengkapi. Walaupun karakter kedua orang yang sangat dihormatinya itu berbeda seperti langit dan bumi.

Bip.... Bip

Mendengar suara itu membuat Sakti menekan tombol yang ada di sisi kursinya.

"Maaf Nyonya dan Mas Ali, Kita sudah sampai."

"Terima kasih Pak Kasno." Balas Sakti.

###

Sah

Alhamdulillah

Terlihat haru bercampur bahagia saat seorang pria berkopiah hitam mengucapkan kalimat itu kepada Sakti dan laki di hadapannya. Sakti tak mampu mendeskripsi apa yang dirasakan saat ini. Namun semburat kelegaan menempel di benaknya. Terbayang wajah almarhum Papanya yang tersenyum kepadanya.

Kesadarannya segera pulih saat sebuah aroma lain merambat memasuki alam pikirannya. Seorang gadis duduk tepat di sampingnya. Pandangan lurus menghadap laki-laki di depannya yang sedang mengusap airmata. Bahkan kalimat yang terlontar dari penghulu tidak mampu mematahkan pandangan gadis.

"Pih.... "

Sakti mendengar gadis itu memanggil dan berdiri dari duduknya serta memeluk laki-laki yang dari tadi terdiam. Seketika semua larut dalam kesedihan anak dan orang tuanya. Entah berapa lama peluk tangis itu berlangsung.

"Li... Papi titip putri kesayangan ini. Tapi biarkan Ily sampai Lulus tetap tinggal di sini. Ini adalah tahun kedua Ily bersama kami. Papi harap Ali mengerti."

"Insya Allah Pih, Ali akan menyerahkan semua kepada Milli, mana yang terbaik buat Papi juga Milli." Ujar Sakti.

"Terima kasih Li... semoga Papi ga salah pilih. Kamu adalah orang yang tepat untuk menjaga Milli."

Sakti merasakan pelukan laki-laki itu begitu erat. Seperti sosok papanya. Pelukan itu berakhir saat terdengar suara pembawa acara.

Selanjutnya adalah marilah kita berikan ucapan selamat kepada kedua mempelai dan keluarga, dilanjutkan makan siang...

Seluruh kerabat yang datang berantusias memberikan ucapan selamat. Tak lupa puluhan doa disambut oleh senyum bahkan tawa oleh lainnya. Sakti hanya menggeleng atas barisan kalimat yang terlontar untuknya sedangkan gadis di sampingnya memilih berteriak bahkan menajamkan matanya.

"Ily sayang... ajak nak Ali makan ya.  Kamu juga dari kemarin hanya makan buah. Mami ga mau Kamu sakit. Apalagi kalau Papi tau. Mami tunggu di sana ya."

Sakti menyimak percakapan itu. Kebetulan saat sarapan ia hanya memasukan beberapa suap nasi. Napsu makannya hilang. Namun mengapa saat ini ia begitu sangat lapar.

"Lo mau makan?"

Ucapan itu membuat Sakti menoleh ke sumber suara.  Baru saja ia hendak membuka mulut...

"Gue temenin aja. Gue malas makan."

"Gue akan makan kalo Lo juga makan."

Kalimat Sakti dibalas dengan gelengan kepala. Padahal Sakti dengar dengan jelas percakapan ibu dan anak itu.

"Sekali lagi, Milli Apriliyan Sujatmiko, gue akan makan kalo Lo juga." ujar Sakti.

"Lo... " mata gadis itu menatapnya tajam.

"Biar adil. Kita makan sama-sama."

"Gue...."

###

To be continue

Melodi Cinta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang