Part 3

101 7 0
                                    

Sakti berjalan memasuki studio rekaman. Terlihat beberapa orang di hadapannya sedang bercakap-cakap dengan seru.

"Woi... Rame banget. Ada apaan emang?"

Ucapannya membuat kerumunan itu berhenti berbicara dan melihat ke arahnya. Merasa dipandangi oleh sahabat-sahabatnya membuat Sakti jengah.

"Kenapa Lo semua lihat gue kayak gini?"

Satu dari mereka menyerahkan amplop berwarna coklat kepada Sakti.

"Apaan nih, Sam?" tanyanya.

"Lo buka aja sendiri." Ujar laki-laki yang menyerahkan benda tadi.

Sakti membuka amplop di tangannya. Seraya melihat ke arah sahabatnya itu.

Kontrak kerja sama selama 10 tahun

Sakti memandang satu per satu laki-laki di hadapannya. Secara berulang. Hingga suara teriakan secara bersamaan disertai pelukan kebahagiaan bersamaan. Terlebih nominal yang ditawarkan bernilai 10 miliar.

Selamat Li... Lo hebat

Iya... Gue salut sama otak brillian seorang Sakti Aliandra...

Mendengar ucapan mereka, Sakti pun mengucapkan syukur. Bukan karena nominal yang menggiurkan namun, ia merasakan usahanya serta ilmunya selama ini tidaklah sia-sia. Perusahaan yang sedang berkembang ini awalnya hanya studio mini untuk menyalurkan minatnya dalam bidang musik. Ia pun mengajak sahabatnya yang seide dengannya untuk bergabung. Hingga Sakti mampu membangun gedung empat lantai ini dengan tangannya sendiri.

"Ini berkat Lo semua. Gue ga kan berhasil kalo kalian ga ikut bantu. Ini kebahagiaan kita bersama." Ujar Sakti.

"Dan ini harus kita rayakan.... "

"Sam... Lo hubungi semua orang untuk makan malam. Tanpa terkecuali."

###

Tepat jam 7 malam

Sakti merayakan kebahagiaanya dengan mengajak makan malam seluruh sahabatnya itu. Bahkan para OB dan sekuriti pun ikut terlibat. Dengan personil 30 orang, Sakti saat ini berada di sebuah café bernuansa kekinian.

Semua larut dalam kebahagiaan. Sakti begitu terharu melihat orang-orang di sekelilingnya. Merekalah yang menemaninya jatuh bangun membesarkan Eight Nine Company bersama-sama. Bahkan mereka pernah tidak menerima upah selama dua bulan saat mitra kerjanya mangkir dari perjanjian. Namun dengan ikhlas mereka tidak meuntut Sakti. Untung saja masa kelam itu terbayarkan.

"Ini untuk keberhasilan kita semua..... cerrrrrrrrrrssss... "

Hidangan yang tersaji di meja besar itu pun segera menjadi sasaran. Terlihat keceriaan di tengah obrolan mereka. Nampak di ujung meja terlihat beberapa pegawai perempuan berswafoto dengan latar pemandangan kota yang terlihat dari kaca bening. Pada barisan tengah yang notabene laki-laki asik makan. Di sudut meja satu lagi terlihat Sakti, Sammy, Dul, Mas Harto, dan Jacki berbicara ringan seraya menyantap makanan.

"Mas, Ali minta perhitungan pengeluarannya secara matang. Kapan Ali bisa terima?"

Laki-laki berkaca mata itu pun meminta waktu dua hari untuk membuat rancangan keuangannya.

"Jacki dan Dul... Lo cari dokumen yang menunjang proyek ini. Apapun itu. Masukan sekecil pun itu berguna buat kita."

"Lo, Sammm... Buat kesepakatan yang jelas dan buat jadwal pelaksanaannya."

###

Karet gelang hitam diikatkan pada rambut panjangnya yang lebat. Setelah dirasakan dirinya sudah oke melalui kaca besar, Sakti pun berjalan ke pintu. Saat bersamaan sebuah panggilan masuk ke gawainya.

Assalamualikum Mam.

...

Sedang makan malam dengan teman kantor.

...

Iya Mam. Ali segera meluncur.

Brukkk....

Awww...

Sakti terkejut saat melihat seseorang duduk di lantai persis di hadapannya. Sontak saja, ia ingin membantu orang itu. Ia pun menjulurkan lengannya.

"Ga usah bantu gue. Gue bisa bangun sendiri." Ujar gadis itu seraya menatap tajam.

Sakti melihat gadis itu kesulitan berdiri namun berusaha untuk bangkit.

"Lo ga kenapa napa? Sori gue ga lihat. Lo ada yang luka?" ujar Sakti dengan rasa bersalah.

"Mata Lo ditaro mana? Lihat lutut gue terluka." Ujar perempuan itu seraya mengusap kedua lututnya.

Sontak saja Sakti melihat ke arah itu. Nampak luka memar pada kulit putih itu. Namun pandangan segera dialihkan saat melihat dress gadis itu yang berukuran mini terangkat.

"Gue anter ke dokter. Ini rasa tanggung jawab gue. Gimana?" ujar Sakti.

"Ga perlu. Lo pikir gue ga mampu bayar RS."

Sakti tidak dapat berucap saat gadis itu memasuki toilet perempuan. Terus terang Sakti merasa bersalah namun sepertinya gadis itu tidak membutuhkan permohonan maafnya.

Tanpa pikir panjang Sakti berjalan memasuki tempat semula. Terlihat para pegawai dan sahabatnya sedang bersenda gurau. Sakti memutuskan untuk pamit lebih dahulu karena ada acara lainnya.

Langkah Sakti menuju pintu keluar terhenti. Ia melihat dari kejauhan gadis yang ditabraknya sedang berjalan menuju lobby. Dengan cepat Sakti melangkah. Ia ingin mengecek kembali keadaan gadis itu. Namun sayang, gadis itu menghilang ke dalam sedan putih yang melaju kencang di hadapannya.

###

"Maaf Mam, Ali terlambat. Tadi ada urusan sebentar."

Nyonya Mutia hanya tersenyum melihat putra keduanya. Memang hampir lima belas menit dirinya duduk menanti.

"Ga papa. Lagi pula kan Mama bisa minta jemput Mang Ujo. Mam jadi ganggu acara kamu."

"Ali udah janji sama Mam. Pokoknya selalu ada waktu buat Mam."

Perkataan Sakti membuat Nyonya Mutia bergeleng. Putranya ini begitu protektif terhadap dirinya. Bahkan Ali rela melepas beasiswa dari Havard University demi menjaga Nyonya Mutia.

"Sini Mam. Biar Ali bawa." Sakti mengambil beberapa tas dari Nyonya Mutia.

Tangan kanan Sakti memeluk lengan Nyonya Mutia. Siapapun yang melihat pasti akan iri dengan keakraban mereka. Tak lama ibu anak itu berjalan menuju parkiran dan meninggalkan gedung berlantai 10 itu. Sepanjang jalan banyak hal yang dibicarakan oleh mereka.

###

Bersambung

Melodi Cinta (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang