Bag. 4

904 179 13
                                    

"Apakah takoyakinya masih ada ?"

Netra seindah rembulan Hinata menangkap sosok menjulang tinggi di hadapannya. Bahkan, gadis itu mendongakkan kepalanya hingga mereka bisa beradu tatap.

Pertama kali dalam hidupnya, ia memandang kagum pada safir biru Naruto yang indah penuh dengan pancaran kehangatan. Terlebih melihat senyumnya yang memukau itu, Hinata mendadak menundukkan pandangannya, rona wajah yang tipis terlihat. Gadis itu tak bisa menampik ada desiran aneh yang merayap ketika melihat sorot hangat yang menguar dari netra seindah samudra milik Naruto.

"Anda siapa ?" suara cempreng tiba-tiba menginterupsi kecanggungan yang ada. Hanabi menatap lurus ke arah safir biru Naruto.

"A-aku..."

"Dia putraku," sela Kushina, ia sudah sampai tepat di depan foodtruck Hinata yang sudah tampak bersih.

Kushina kembali menatap foodtruck yang sudah beres itu. Tak ada acara buat membuat atau bungkus membungkus takoyaki lagi. Semua sudah terlihat bersih. Ia masih dilanda penasaran,"Sudah habis ya ?" tanya Kushina. Sekali lagi, ia celingak celinguk, mencari apa yang ia cari sedari tadi. Yaitu...takoyaki.

"Iya, sudah habis, Nyonya," jawab Hinata, suara halusnya mampu membuat deguban jantung Naruto kian tak beraturan. Terlebih saat melihat rona di pipi serta mata seindah rembulan milik gadis itu. Ada sebuah tarikan kuat agar sosok pria berjaket oranye itu untuk kian mendekat. Ia mirip dengan Shion. Itu otak bejat Naruto berbicara.

Mendengar pernyataan yang keluar dari Hinata, sontak membuat mata dan mulut ibu-anak itu melebar,"Haaaa ? Sudah habisss ?" setelah mengucapkan pernyataan itu, safir biru seindah samudra milik sang putra dan sorot obsidian sang ibu saling berpandangan. Tentu dibarengi dengan raut wajah kecewa. Kemudian mereka mengangguk-angguk serentak. Mengangguk paham, bahwa takoyaki mereka sudah habis.

Kushina menghela napas sejenak. Ia terus mengusap keringat yang mendadak membanjiri kedua telapak tangannya, akibat grogi,"Mmm..begini. Kami ke sini..mmmm... berniat ingin mengundangmu makan siang besok di restoran kami,"

"Makan siang di restoran ? Apa namanya dan di mana alamatnya, Nyonya ?" cerocos Hanabi antusias, yang malah mendapatkan delikan tajam oleh sang kakak.

"Di Tokyo ini, kami punya restoran keluarga. Yaaa restoran kecil-kecilan di Shibuya. Kuharap kalian mau mampir ya," tutur Kushina merendah. Ia menatap Hinata penuh harap. Tangan putihnya terulur untuk mengelus pipi pualam Hinata dan menyentuh dagunya agar mendongak menghadap ke arah dirinya. Tujuannya supaya bisa saling menyelami arti tatapan masing-masing.

"Mau ya ?" desak Kushina, Hinata menatap ragu-ragu ke arah Kushina.

Hinata menoleh ke arah Hanabi, meminta persetujuan dari adiknya. Hanabi malah mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum.
"Ba-baiklah, Nyonya.."

"Jangan panggil,Nyonya.."

"Jadi ?"

"Panggil saja bibi atau....ibu mungkin."

"Maaf, Nyonya. Bagaimana kami bisa memanggil Anda seakrab itu sedangkan kita belum berkenalan," seloroh Hanabi dengan entengnya sekaligus mewakili Hinata yang masih malu untuk bicara.

Kushina mendadak tersenyum kecil. Ia merasa malu sendiri karena sudah sok akrab dan sok dekat dengan mereka."Ah ya, namaku Uzumaki Kushina dan..." sebut Kushina, ia menyodorkan telapak tangannya di depan wajah Hinata.

Dengan senyum dan gelagat yang canggung, Hinata membalas jabatan tangan Kushina. Ia meneguk ludah saat melihat penampilan Kushina dari atas hingga bawah. Ibu ini pasti orang kaya.

"Hinata. Hyuuga Hinata."

"Nama yang cantik, sama dengan orangnya," Goda Naruto, mendengar hal itu sontak membuat pipi pualam Hinata memerah. Ia menundukan pandangannya kembali, menutupi kegugupan dan rasa malunya.

"Perkenalkan, namaku Uzumaki Naruto." kali ini, Naruto yang menyodorkan telapak tangannya.

"Namaku Hyuuga Hanabi," Hanabi tanpa dosa menyerobot tangan sang kakak di depan Naruto, ia mengeluarkan cengiran hingga deretan gigi depannya terlihat. Hinata gondok setengah mati dibuat adiknya. Hal itu membuat wajahnya semakin merah padam hingga ke telinga.

Naruto terkekeh melihat tingkah Hanabi,"Hei, kau tidak lihat wajah kakakmu itu sudah seperti kepiting rebus, tahu.." lagi, Naruto menggoda Hinata. Entah kenapa, ia sangat suka menggoda gadis penjual takoyaki itu. Terlebih melihat pipinya yang memerah, menjadi hiburan tersendiri baginya.

Hinata menghentakkan kaki dan menggembungkan kedua pipinya.
"Mou..!" Hinata mengerucutkan bibirnya.

Lagi, Hanabi dan Naruto terkekeh bersama.

"Kau menggemaskan sekali jika seperti itu, Hinata.." wanita paruh baya itu mencubit gemas pipi gembil Hinata. Kushina juga menatap Hinata dalam, hingga mampu menembus rongga hatinya. Di sana, ibu satu anak ini merasakan kehangatan yang tak terbantahkan. Batinnya berseloroh semoga suatu saat nanti, kau bisa jadi menantuku, Hinata.
.
.
.
.
.

Hinata dan Hanabi telah sampai di depan pintu restoran yang alamatnya disebut oleh Kushina kemarin di daerah Shibuya, yaitu Nazu Family Resto. Mereka sempat takjub saat melihat arsitektur dan konsep restoran tersebut. Mereka bisa melihat jelas dari kaca tembus pandang restoran itu, bagaimana ramainya pengunjung dan mewahnya furniture yang ada di dalam sana.

Hanabi mendengus sebal, ia melipat tangannya di depan dada,"Huh ! Nyonya Kushina berbohong pada kita, katanya restorannya kecil-kecilan dan ternyata..Apa ini ? ini adalah salah satu restoran bintang lima terbaik di Jepang," gerutu Hanabi panjang lebar. Terdapat rasa kecewa sekaligus kesal di sana, bahwa Kushina saat itu memang tidak menyebut nama restorannya.

Gadis manis yang masih bersekolah itu tentu saja tahu, teman temannya sering bercerita tentang restoran ini. Nazu Family Resto adalah salah satu restoran yang terkenal enak dengan hidangan maincoursenya. Dan itu membuat Hanabi meneguk ludah, terlebih saat mereka menceritakan bagaimana lezatnya menu menu makanan berbau fusion di sana. Hanabi tahu diri, tentu saja menu itu tak murah harganya. Ada sebuah apresiasi yang wajib dibayar ketika makanan dengan cita rasa lezat dibarengi nilai estetika yang tinggi menyapa indra pengecap para penikmat rasa.

"Kalau begini, aku sedikit minder. Kita pulang saja,yuk." ajak Hanabi. Ia menggandeng tangan sang kakak. Mereka berbalik dan hendak pergi. Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi mereka berdua.

"Tunggu, Hinata ! Hanabi !" panggil Kushina dari depan pintu kaca restorannya. Ia bergegas untuk mencegat Hanabi yang hendak berjalan ke trotoar.

"Ayo, masuk," ajak Kushina, Hinata dan Hanabi tak bergeming. Rasa kurang percaya diri menghinggapi mereka untuk menuruti apa yang dimau oleh wanita berambut merah itu.

"Kenapa ?" Kushina bertanya penuh rasa penasaran karena mereka hanya diam menanggapi ajakan darinya.

Dua bersaudara itu saling pandang, mereka juga bingung mau membalas apa.

Melihat diamnya dua Hyuuga itu, Kushina maju. Ia mendekat ke arah mereka berdua dan menyeret mereka untuk masuk ke dalam restorannya.
"Ayo, masuk. Kalian harus makan siang bersamaku. Tidak ada penolakan," paksa Kushina. Wanita berambut merah itu tersenyum puas ketika melihat mereka berdua masuk dan duduk di kursi yang sengaja sudah dikosongkan oleh sang pemilik restoran. Hinata dan Hanabi hanya pasrah mengikuti kemauan wanita berambut merah sepunggung itu.
.
.
.
.
.
To be continue

Takoyaki Girl (End) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang