Bag. 3

977 179 4
                                    

"Hei, kenapa ditutup seperti itu ?" cegah Hanabi saat ia melihat sang kakak yang sedang melindungi dua gundukan seksi miliknya.

Gadis itu datang ke kamar sang kakak. Ia berniat untuk menunggunya di luar, tapi ia urungkan karena ia penasaran dengan apa yang kakaknya lakukan di dalam kamar. Hanabi berdiri bersedekap dan bersandar pada kusen pintu kamar sederhana milik Hinata. Ia menatap jengah pada sang kakak yang selalu menutupi kedua aset berharga miliknya.

"Aku ingin berjualan takoyaki, Hanabi. Bukan berjualan yang lain, terlebih memamerkan dua benda berbahaya ini. Kau tahu kalau banyak pemuda yang memperhatikan aku saat sedang membuat takoyaki," paparnya panjang lebar tanpa mengalihkan pandangan dari korset yang sedang ia pasang untuk menutupi dada besarnya itu. Terasa kencang dan sesak saat sudah selesai dipasang tapi ia merasa cukup nyaman. Tak akan ada pria yang membuyarkan konsentrasinya saat membuat takoyaki. Terlebih jika melihat atau menggoda ukuran dadanya yang menggiurkan itu.

"Aku sedikit iri denganmu," keluh gadis yang duduk di bangku kelas 1 High School itu. Hanabi berjalan pelan dan mendaratkan pantatnya di tepi singlebed milik Hinata.

"Punyamu besar, harusnya kau bersyukur dan bangga. Banyak wanita-wanita di luar sana yang rela menginplan atau menyuntik botox pada kedua payudaranya," lagi, Hanabi terus mengomentari tentang ukuran aset berharga milik Hinata yang sering ditutupinya.

Sedangkan sang kakak tetap tak bergeming, ia mematutkan dirinya di depan cermin. Menatap cerminan dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sekiranya ia merasa ukuran dadanya tidak menonjol lagi, ia langsung mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan ripped jeans berwarna sama yang sudah disampirkan di meja riasnya.

"Kau tidak perlu iri denganku, Hanabi," ia memandang Hanabi yang dari pantulan cermin dengan tersenyum. Hinata menyisir rambut indigonya yang lurus, merapikan poni ratanya dengan seksama. Dan mengenakan topi baseball hitam favoritnya.

"Kau masih dalam masa pertumbuhan. Dua benda itu pasti juga akan ikut tumbuh. Aku hanya tidak percaya diri saja dengan ukuran dadaku ini," Hinata mengarahkan pandangannya ke bawah, tepat di kedua benda kenyal yang kini tampak datar itu.

Hanabi memutar netra rembulannya, jenuh jika hanya itu saja yang menjadi alasan sang kakak untuk menutupi kedua aset berharganya itu."Ah, sudahlah. Ayo kita pergi, nanti kita terlambat. Bukankah ada festival di Harajuku Street ? Ayo !"
Hanabi langsung menyeret kakaknya keluar kamar dan bersiap untuk memperdagangkan takoyakinya di Distrik Hiburan Harajuku, Tokyo.
.
.
.
.
.

Wanita paruh baya bersurai merah itu, tampak celingak celinguk tepat di persimpangan jalan di Distrik pembelanjaan Ginza. Ia tampak seperti orang bingung, bingung karena kehilangan sesuatu. Kushina mencoba bertanya pada orang yang berlalu lalang di tempat tersebut.

Kushina mencegat sopan pada salah satu pejalan kaki yang melintasi dirinya. Seorang pemuda berambut coklat dengan mata berwarna sama,"Maaf, apakah Anda tahu tentang foodtruck berwarna ungu yang kemarin menjual takoyaki di sini ?"

Si pemuda menggaruk pipinya yang tidak gatal. Ia sedang berpikir. Ia juga menatap Kushina dengan tatapan menyelidik melihat dari atas ujung kepala hingga ujung kaki,"Maaf, Nyonya. Aku tidak tahu,"

"Dia mungkin berjualan di Distrik Harajuku, Nyonya !" sela salah satu pemilik toko penjual handphone segala jenis merk itu. Ia setengah berteriak. Pria tambun itulah yang memperhatikan gerak gerik Kushina sedari tadi.

Kushina menoleh ke arah suara. Tak lama, ia kembali ke posisi semula. Menatap pemuda itu dan berseloroh..
"Terima kasih."

Pemuda itu mengangguk dan berjalan cepat menuju seberang.

Takoyaki Girl (End) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang