Bag. 10

921 161 17
                                    

Aku melajukan Kawasaki R125 Hijau dengan kecepatan sedang. Aku tak ingin cepat sampai di restoran. Jika tidak karena bekerja, mungkin kami sudah berlabuh di tempat makan romantis, taman hiburan, bioskop atau semacamnya. Hatiku masih berdebar saat dengan sengaja aku menempelkan bibirku ke bibirnya. Rasanya memalukan sekali. Tapi, di satu sisi ada rasa berbeda yang sulit untuk dibantah. Aku tak tahu itu apa. Aku sering mencium bibir wanita yang statusnya adalah kekasihku. Tapi untuk kali ini, sensasinya sangat berbeda. Sensasi manis yang memabukkan. Jujur, ini sungguh sulit untuk ditolak oleh logikaku.

Apa yang kulakukan tadi benar-benar membuatku ketagihan, ingin merasakannya lagi. Tapi, tentu saja aku tidak ingin sekedar menempelkannya saja. Kalau bisa, ingin kulumat dan kuhisap sari patinya hingga aku benar-benar puas. Hanya sekedar menempelkannya saja sudah membuatku merinding apalagi jika aku.....ah sudahlah ! Aku jadi membayangkan yang tidak-tidak deh jadinya.

Dia sangat menggemaskan. Terlebih saat aku melihat sipuan merah jambu di kedua pipi tembamnya setelah aku menciumnya tadi. Itu adalah pemandangan yang unik di kedua safir biruku. Aku memang bukan seorang cassanova, playboy atau sejenisnya. Aku cukup setia hanya dengan satu pasangan saja walaupun kuakui banyak menjalin hubungan asmara dengan wanita asing yang berbeda selama 4 tahun saat aku berada di Negeri Kangguru, Australia. Tapi, saat bersama Hinata, semua terasa berbeda. Kalau dulu, aku menjalin hubungan asmara karena sekedar status dan sex dengan jalur aman. Kini, saat bersama Hinata, aku ingin selamanya mengarungi hidup bersamanya. Dia memang hanya seorang gadis penjual takoyaki biasa. Tapi, ia mempunyai sesuatu yang tak dipunyai oleh wanita yang pernah kukencani, termasuk Shion sekalipun.

Kami memiliki passion yang sama di bidang kuliner. Aku yakin sekali, dia bukan hanya pandai membuat takoyaki. Aku jadi penasaran, ingin menguji seberapa pandai ia mengolah bahan makanan menjadi hidangan yang lezat. Uppss, bukan ! Bukan hanya dia yang menghidangkan masakan yang lezat untukku. Tapi, jika perlu dialah yang akan menjadi hidanganku. Eehhh ? Ngawur lagi. Aku terus menggelengkan kepala saat membayangkan hal yang aneh-aneh bersarang di kepalaku. Wajahku mendadak jadi panas, bukan karena helm fullface yang kukenakan atau cuaca yang memang sedang panas. Tapi panas karena pikiran jorokku sendiri.

Aku merasakan ada genggaman di kedua pundakku, aku menoleh sekilas ke belakang. Sepintas, aku melirik Hinata yang tampak canggung memegang bahuku. Ia  menjaga jarak denganku di atas motor. Aku menepikan kuda besiku sejenak,"Ke-kenapa berhenti ?" ia bertanya dengan terbata, ada kegugupan yang dibalut rasa penasaran di wajahnya yang ditutupi helm standart miliknya. Helmnya berkaca transparan, jadi aku bisa leluasa melihat wajah putihnya yang memerah itu. Benar-benar membuatku gemas.

Aku menggeleng pelan dan melirik Hinata melalui spion. Ia sadar dan segera menundukkan pandangannya karena malu,"Harusnya di sini, Hinata," Masih dengan membelakangi, aku membawa kedua telapak tangannya yang berada di pundakku untuk turun ke pinggang lalu dengan sengaja kulingkarkan ke perut sixpackku. Lagi-lagi, jantungku berderap kencang, terlebih saat dua benda kenyal yang kupastikan ukurannya sangat menggiurkan itu menempel di punggung lebarku. Aku hanya menghela napas panjang, mencoba untuk menetralkan pikiranku yang kian liar kemana-mana.

Tangan Hinata yang berada di perutku sedikit berkeringat. Aku bisa merasakannya saat menyentuhnya tadi. Aku tersenyum penuh arti yang kusembunyikan melalui helm fullfaceku. Aku lebih senang ia memelukku daripada mencengkram pundakku, aku merasa kurang nyaman untuk bergerak. Dia tidak membantah ataupun menolak permintaanku.

"Tetaplah seperti ini, Hinata. Aku merasa kurang nyaman jika kau mencengkram pundakku," aku berkata dengan sedikit mengeraskan suara, ia menganggukan kepala sebagai jawaban. Aku merasakan itu lewat punggungku karena kepalanya sedang bersandar di sana.

Aku pun kembali memacu kuda besi kesayanganku dengan kecepatan di atas rata-rata agar cepat sampai ke restoran. Karena aku tidak ingin si nyonya red hot habbanero itu mengamuk.
.
.
.
.
.
Hinata berjalan cepat mendahului Naruto. Ia masih canggung dengan situasi seperti sekarang ini. Perasaannya benar-benar kacau. Hinata bergegas masuk ke restoran dan langsung menuju ke dapur pribadinya. Ketika ia masuk, Hanabi malah menyambutnya dengan wajah cemberut. Ia sudah menanti dengan bersedekap di meja sudut dekat pintu masuk dapur,"Kakak lama sekali sih !" gerutu Hanabi, ia memberengut kesal. Menatap malas ke arah sang kakak yang baru saja menjejakkan kakinya di dapur khusus milik mereka berdua.

Takoyaki Girl (End) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang