Notes : Karena keterbatasan dalam bahasa Jawa, dialog yang bertulisan miring anggap aja dibicarain dalam bahasa Jawa.
◇◇
Sejak Dara ikhlas menerima perasaannya; bahwa ia sedang jatuh cinta dengan seniornya, Satrio, gadis itu justru semakin tidak tenang. Sebagian besar kegelisahannya masih tentang ajakan Satrio membawanya ke Yogyakarta. Kota itu, seharusnya biasa saja dan seorang Dara pasti bisa beradaptasi dengan mudah. Tapi, kenapa seniornya itu ingin mempertemukan dirinya dengan keluarganya? Dara sudah mati-matian menahan perasaannya yang bisa saja meledak.
Ia ingin tau keadaan Satrio, ia ingin tau alasan Satrio, ia ingin tau yang dilakukan Satrio di Yogyakarta, dan ia ingin tau apakah ia merasakan cinta itu sendirian atau Satrio di sana juga merasakan hal yang sama.
Dara merenung, di depannya ada Abel yang fokus pada kertas-kertas tugasnya. Suasana kantin yang ramai bahkan terdengar hening di telinganya. Dara menatap pesan Satrio, ucapan 'rindu' yang mampu membuat gadis itu ingin menangis.
Ia pun juga rindu. Tapi, apa ia bisa dengan bebas mengatakan itu?
Satu hal yang Dara sulitkan, meski ia jatuh cinta pun rasanya tidak bebas. Di pikirannya masih teringat pengalaman pahit dalam berpacaran, semua rasa sakit itu masih ada di sudut-sudut hatinya. Bahkan, ketika Dara menyukai Rizky, tidak sekalut ini. Atau mungkin, perasaannya tidak sedalam itu.
"Dara!"
"Eh. Kenapa?"
"Lo bengong terus."
Dara tersenyum masam, Abel berdecak sekaligus iba.
"Gue tau lo kangen Kak Satrio."
"Ngga!"
"Pake ngga ngaku. Mending nanti lo telfon dia, daripada lo galau gini."
Dara diam, masa perempuan nelfon duluan? Gengsinya merangkak naik, ia menatap Abel kesal dan memasukkan ponselnya dengan kasar ke dalam tas.
️️ ️️
️️ ️️
ㅤㅤ
️️ ️️️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️
ㅤㅤ
️️ ️️
️️ ️️️️ ️️
️️ ️️
ㅤㅤ
️️ ️️
Satrio menghela napas perlahan, suasana di meja itu membebaninya. Terlebih tatapan Sekar padanya. Sekar Anistya Kartika, ia harusnya sudah menyadari ini saat nama Sekar tiba-tiba muncul di pembicaraan. Tapi tetap saja Satrio seolah terkena pukulan telak dengan tongkat baseball di kepalanya. Ia kenal Sekar bahkan sejak belum lancar membedakan makanan halal dan haramㅡini cuma perumpamaan. Intinya, Satrio bahkan tidak bisa membayangkan dia dan sahabat sejak kecilnya nanti berumah tangga.Sudut alisnya menukik naik, Sekar jelas-jelas memandangnya seperti ingin berbicaraㅡmelihat dari bagaimana senyumnya dikulum dan sesekali kepalanya bergerak canggung. Seingat Satrio, hampir 5 tahun mereka tidak bertemu. Sekar pindah sekolah ke Singapore, padahal ia tau itu bukan keinginan gadis di depannya ini. Dibandingnya, mungkin situasi Sekar lebih menyulitkan. Perempuan itu sejak kecil sudah disetir ke jalan yang sesuai rencana orang tuanya, terlepas dari bakat besar Sekar dalam tarian tradisional. Satrio adalah saksi Sekar yang diam-diam belajar tarian dari lahan parkir sebuah sanggar dulu, mungkin saat mereka masih usia delapan. Satrio juga bahu yang disandari Sekar setiap gadis itu dibentak dan dilarang berlatih tarian. Mengingat itu, ia menatap Sekar iba. Menyadari sorot mata Satrio yang berubah, Sekar menggeleng pelan dan tersenyum lebih tegas.
Kalau Satrio boleh membandingkan lagi, berbeda dengan Dara yang bebas dan tangguh, Sekar seperti porselen rapuh.
Ah, kenapa jadi ke Dara?
Satrio memijat pelipisnya sekilas. Suara obrolan Eyang dan Ratna di sampingnya dengan orang tua Sekar hanya jadi angin lalu di telinga Satrio. Tujuannya untuk mempertegas maksud menolak rencana perjodohan, tapi kalau ini menyangkut Sekar, apa gadis itu akan baik-baik saja nanti?
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 2958 Mdpl
أدب الهواةDi puncak Gunung Gede dengan ketinggian 2.958 Mdpl, dia malah menyatakan cinta di saat yang gue butuh adalah kopi panas. #ㅡenam pagi ; 1. photo cover by fullfeeled.