Sebelumnya...
Satrio baru saja keluar dari bandara setelah penerbangan dari Yogyakarta. Dapat ia simpulkan urusannya sudah selesai setengahnya. Memang sempat ada perdebatan, namun Satrio menurunkan ego dengan memohon agar dipercaya sepenuhnya memilih pasangannya sendiri. Beruntung Ratna mendukung sepenuhnya, sejak dulu sang ibu selalu mendukung keputusannya. Meski sekarang tampak baik-baik saja, tidak ada jaminan ke depannya ia tidak akan mengalami ini lagi.
Maka Satrio memantapkan hatinya kepada satu orang saja.
Setelah mendapat taksi, ia berencana ke kampus dulu untuk bertemu Angga dan Awan terkait band mereka. Belum setengah jam di perjalanan, sebuah panggilan masuk ke ponsel Satrio. Itu Dara.
"Halo Dara?" Senyum sumringah tampak di wajahnya, entah bagaimana ia sesenang itu mendapat telepon dari Dara.
"Halo Ka Satrio."
Satrio terdiam. Senyuman tadi semakin tipis. Ia merasa janggal dengan suara Dara yang gemetar hebat, tarikan napas berat, dan senggukan kecil yang berusaha ditahan.
"Kamu nangis?"
Giginya bergesekan, apa yang membuat gadis yang sedang sangat ia rindukan ini menangis sampai sekuat itu?
"Kak," suara Dara terdengar lemah. Satrio rasanya ingin berteleportasi segera ke tempat Dara.
"Cepet pulang, aku butuh kamu."
Sial, Satrio segera menyuruh supir taksi agar lebih cepat.
️️ ️️
️️ ️️
ㅤㅤ
️️ ️️
Sampai di stasiun yang dimaksud, Satrio masih berpikir kenapa Dara ada di sana dan mau ke mana dia sebenarnya? Banyak pikiran buruk di otaknya dan segala kemungkinan yang terjadi selama ia pergi beberapa hari.Mungkin seharusnya ia tidak meninggalkan perempuan itu barang satu detik pun.
Turun dari taksi, Satrio berjalan menuju stasiun. Ia baru saja akan menelepon Dara, saat matanya menangkap sosok ringkih gadis itu di antara orang yang hilir-mudik. Seolah Satrio selalu bisa menemukan Dara dalam keramaian.
Dara tampak lebih berantakan, hati Satrio terasa mencelos. Kakinya melangkah cepat menghampiri gadis itu. Semakin dekat, Dara semakin terlihat kacau.
"Dara," panggilnya. Dan sesaat Dara menatap balik kepadanya, Satrio menemukan luka yang begitu dalam dari matanya.
"Kak."
Tubuh Dara kembali gemetar, padahal ia sudah tenang dan baik-baik saja. Tapi di hadapan Satrio, ia kembali runtuh dan tidak berdaya. Satrio yang menyadari itu pun langsung menarik tangan Dara keluar dari stasiun.
"Tunggu sebentar, kita pergi dari sini dulu."
Dara mengangguk patuh, dadanya yang semula terasa sangat sesak menjadi nyaman begitu Satrio menggenggam dan menautkan jari-jari tangan mereka.
Tangan besar Satrio membuatnya merasa aman.
Satrio memanggil taksi, ia tidak melepaskan genggaman tangan itu sedikit pun. Sudut hati Satrio berkata bahwa jika ia melepaskan tangan ini, maka gadis itu rubuh seketika.
Ada satu tempat yang cukup dekat dari lokasi mereka dan lebih nyaman bagi Dara, yaitu studio musik pribadinya. Satrio mengontrak sebuah studio untuk setahun yang ia gunakan sebagai ruang kerja pribadi. Ia melarang siapapun datang ke sanaㅡkhawatir pekerjaannya dirusak. Tapi untuk Dara, tempat itu lebih tepat.
Selama di perjalanan, Dara menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Satrio. Napasnya teratur, meski tatapannya kosong tapi saat ini ia tidak lagi sesak atau tersiksa. Satrio pun berusaha menenangkan gadis itu semampunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 2958 Mdpl
FanfictionDi puncak Gunung Gede dengan ketinggian 2.958 Mdpl, dia malah menyatakan cinta di saat yang gue butuh adalah kopi panas. #ㅡenam pagi ; 1. photo cover by fullfeeled.