Ada Apa Dengan Satrio? Pt.3

1.4K 304 25
                                    

Suara burung dan ayam yang meramaikan pagi Satrio tidak cukup menyadarkan laki-laki itu dari lamunan. Pukul 6 pagi, Satrio bangun lebih cepat dari biasanya. Padahal ia merasa lelah, tapi matanya malah buru-buru terbuka. Ia bergegas bangun dan mencuci muka. Begitu selesai, Satrio bersiap dengan pakaian yang lebih nyaman untuk berolahraga. Sudah cukup lama ia tidak menikmati pagi di tempat itu, saatnya Satrio menghilangkan stresnya sejenak.

Keluar kamar, Satrio melihat Mbok alias pembantu rumah tangga sedang memulai pekerjaan. Pamit, ia pun pergi untuk pemanasan di halaman depan. Rumah Eyangnya masih sama seperti puluhan tahun laluㅡbegitu yang ia tau dari cerita yang didengar saat kecil. Halaman depan ditumbuhi pohon dan rerumputan yang menciptakan udara sejuk, sedangkan halaman belakang banyak ditinggali ayam ternak, sumur, dan tempat menjemur pakaian. Semuanya terkesan 'pedesaan'. Satrio sempat tinggal di sana hanya beberapa tahun, ingatannya lumayan samar karena umurnya masih terlalu kecil. Tapi selain itu Satrio masih ingat kalau ia cukup sering menginap di tempat itu.

Satrio melakukan peregangan badan, diselingi jeda sebentar ia berlanjut dengan lari santai mengitari lingkungan tersebut. Kegiatan pagi di sekitar situ juga hampir seragam; membersihkan rumah, anak-anak kecil yang mulai berkeliaran main, dan beberapa ibu-ibu yang membeli makanan untuk sarapan di warung. Semua tampak damai, semoga pikiran Satrio juga menyusul kedamaian itu. Suara napas yang lumayan terengah menandakan Satrio sudah cukup berlari, mungkin sudah sekitar 20 menit. Ia melanjutkan dengan jalan santai sambil merogoh ponsel dari saku celana trainingnya. Sesaat, Satrio melihat ada pesan dari Sekarㅡnamun tidak terlihat notifikasi dari Dara. Merasa itu sesuatu yang penting, Satrio memilih langsung menelepon Sekar. Dalam dering kedua, panggilannya terangkat.

"Rio,"

"Ada apa? Ada masalah di rumah?"

"Hm, iya. Kita bisa ketemu?"

Tanpa sadar sudah berada di depan rumahnya, Satrio berhenti dan bersandar di dinding sisi pagar supaya obrolannya tidak terdengar orang rumah.

"Bisa, mau ketemu jam berapa?"

"Mungkin 2 jam lagi, nanti lokasinya aku chat aja ya."

"Oke."

Telepon terputus, Satrio menghela napas dalam lalu masuk ke rumah. Panggilan dari sang ibu menyambut kedatangannyaㅡsebuah suruhan untuk sarapan. Satrio bergegas membersihkan diri, dalam waktu 15 menit ia sudah duduk di meja makan yang terdapat nasi goreng dan lauk lainnya. Sarapan yang lumayan berat buat perut Satrio. Ia menghabiskan waktu pagi dengan sarapan sambil berbincang dengan Eyangnya.

Sekitar pukul sembilan, Satrio sudah di perjalanan untuk bertemu Sekar. Dengan motor vespaㅡasetnya sejak SMA dulu, ia menghindari kemacetan kota Yogyakarta. Ponselnya beberapa kali berbunyi, notifikasi dari grup obrolan Enam Pagi yang entah karena apa tumben sekali ramai di waktu yang bahkan sangat Satrio tau kalau teman-temannya jarang sudah bangun. Cuma namanya Enam Pagi, tapi personelnya bahkan tidak bisa bangun di pagi hari.

Setiba di sebuah kafe, Satrio memarkirkan motor dan segera masuk. Sekar sudah menunggu, dengan segelas cappucino dan masker hitam yang menutupi setengah wajahnya.

"Ada apa?" Pertanyaan pertama begitu Satrio duduk di hadapan Sekar. Alih-alih menjawab, gadis itu diam menatap Satrio. Rupanya cappucino itu belum diminum sedikitpun. Sekar menurunkan maskernya, ada bekas merah di pipi.

Satrio tercekat sejenak, lalu menghela napas. Tangannya menggapai pipi Sekar dan membelainya dengan sangat hati-hati. Sekar merasa matanya panas dan berair, tak lama setetes air mata bergulir ke pipinya yang segera Satrio seka.

"Iyo..."

"Gapapa, kamu aman di sini."

Sekar mengangguk.

[1] 2958 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang