Gue sudah bersiap dan duduk di teras kos. Sabtu ini para penghuni kos gue banyak yang menghilang, menghilang dalam arti pulang ke rumah masing-masing atau pergi entah ke mana untuk menikmati akhir pekan. Pun gue juga akan pergi, meskipun yang tau destinasi tempatnya adalah orang yang akan gue temani. Gue menyipitkan mata saat sebuah mobil berhenti di depan kos, gue berdiri dan tak lama sosok yang gue tunggu menampakkan dirinya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Ka Satrio."
"Maaf telat, udah siap?"
Gue mengangguk dan segera keluar untuk menghampiri Satrio, tidak lupa mengunci pintu terlebih dahulu. Gue pun masuk ke mobilnya dan tidak lama Satrio menyusul, tidak lupa diikuti dengan senyumnya sebelum akhirnya ia mulai mengemudikan mobil. Gue, canggung. Kenapa? Karena, sialnya, jantung gue berdebar gila-gilaan. Dasar jantung bar-bar.
"Gimana kemarin di Papandayan?"
"Hm, seru sih." Kacau. Gue kacau, Kak.
Gue tersenyum, atau lebih tepatnya memaksakan senyum. Setelah pendakian itu gue jadi menghindari Bang Rizky. Ntah, gue hanya merasa sedikit kurang nyaman kalau ada di dekat dia. Padahal, ngga ada masalah di antara kita.
Gue menangkap anggukan kepala Satrio tapi dia ngga bertanya lagi. Apa mungkin dia menangkap gelagat gue yang kurang nyaman dengan pembahasan itu?
"Eh, Ka."
"Hm?" Satrio menatap gue sekilas sebelum kembali fokus mengemudi.
Duh, gue kok sakit perut ya.
"Lo waktu itu minta ikut pendakian, dalam rangka apa?"
Satrio berdeham dan menggaruk tengkuknya. "Itu, gue sebenernya fobia ketinggian."
"Oh ya?" Kayanya mata gue melotot, karena emang gue kaget. Gue kira orang sejenis Satrio ini sempurna banget.
"Hahaha, iya. Gue fobia ketinggian dan laut."
"Tapi kalo lo fobia jangan dipaksa, Ka."
"Justru harus gue paksa biar fobianya hilang. Lagianㅡ"
"Ya?"
"Gue mau fobianya hilang karena lo."
"ㅡeh?"
°•°•°
Kami memasuki salah satu toko musik yang katanya langganan Satrio. Tokonya sih biasa aja, ngga terlalu spesial tapi rapi dan yang penting suasananya enak. Ada suara musik jazz dari speaker, nyaman banget.
Satrio sudah berkonsultasi soal gitarnya dengan si pemilik, gue sih ngga paham jadi memilih untuk melihat-lihat. Gue memencet tuts piano, sebenarnya waktu masik kecil gue sempat belajar piano. Tapi karena gue ngga ada bakat, gue pun berhenti.
"Dar," gue menoleh saat Satrio memanggil gue. Dia sudah menenteng gitar yang berbeda dari yang ia bawa, gue mengernyit.
"Kenapa?"
"Ini cocok ngga sama gue?"
Gue pun melihat gitar dan Satrio secara bergantian. "Ngga, kurang pas sama figur badan lo."
Satrio menaruh gitar itu, gue pun mendekatinya. "Emang mau beli gitar baru?"
"Pengen sih, gue cuma punya dua gitar. Mau gue tuker tambah salah satunya." Satrio mengangkat gitar lain, kali ini gitar akustik yang mirip dengan gitar miliknya. Ia pun memetik senarnya, memainkan nada secara asal yang seperti menyihir gue.
Gue tersenyum sepanjang Satrio memainkan gitar itu, padahal gue tau dia hanya mencoba.
"Bagus." ucap gue, Satrio tertawa sembari mengembalikan gitar.
"Yuk, nonton. Gitar gue baru bisa diambil lusa." Gue mengangguk sebagai jawaban, kami pun pamit kepada si pemilik toko kemudian keluar.
Berjalan menuju mobil, toko ini berada di jalan yang cukup sempit makanya Satrio memarkir mobilnya cukup jauh dari lokasi.
"Awas, Dar." Satrio menarik tangan gue agar merapat, tidak lama dari sisi gue muncul motor dengan gerobak di belakangnya. Satrio berpindah posisi sehingga dia yang bersisian dengan jalan.
Duh.
"Udah makan?" tanya gue, basa-basi yang super basi.
"Belum. Lo udah?"
Gue menggeleng.
"Nanti lo maag lagi."
Gue hanya nyengir.
Masuk ke mobil, hening sejenak sebelum akhirnya terdengar suara mesin dan radio. Satrio pun melajukan mobilnya, sedangkan gue sibuk mencari saluran radio dengan acara yang enak.
Sepanjang perjalanan, dia menggumamkan lagu-lagu yang berputar di radio. Itu membuat gue ikut bergumam, akhirnya kami justru bernyanyi kecil. Meskipun sangat jelas suara gue jauh di bawah suara Satrio.
Tidak butuh waktu lama bagi kami sampai di pusat perbelanjaan yang ada bioskopnya, dari lokasi kami memang sedekat itu. Satrio turun, disusul gue. Kami pun memasuki pusat perbelanjaan itu, Satrio langsung menggenggam tangan gue untuk menuju salah satu restoran. Ia sempat bertanya mau makan apa dan di mana ㅡyang gue jawab dengan terserahㅡ, tapi akhirnya memutuskan makan di restoran udon.
Usai memesan makanan dan bayar, kami bergegas untuk duduk di tempat yang kosong. Gue makan, sedangkan Satrio sibuk dengan ponselnya.
"Dimakan kali udonnya?"
Satrio pun menoleh dan disusul dengan senyuman. "Lagi ngecek jadwal film."
Sebentar, aduh dada gue kenapa?
"Oh, terus jadinya mau nonton apa?"
"Yang lagi trending sih NKCTHI. Mau?"
Gue langsung mengangguk, kebetulan banget gue emang mau nonton itu. Tadinya, kalau Satrio ngga sebut judul itu, mau gue bujuk. Eh, ternyata. Hehehe.
"Gue emang pengen saranin itu sih, Kak. Hehehe."
Setelah selesai dengan sesi makan, kami pun keluar dari restoran itu dan naik menuju bioskop. Kata Satrio, dia udah beli tiketnya via aplikasi. Dan lagi-lagi Satrio menggenggam tangan gue saat akan masuk ke bioskop.
Gue menatap genggaman tangan itu yang bahkan ngga dilepaskan oleh Satrio meskipun dia sibuk menukar tiket dengan barcode.
Dan gue hanya bisa tersenyum, seperti orang ngga waras.
"Dar?"
"Eh, ya?"
Satrio mengangkat kedua tiket yang sudah dicetak sambil memandang gue. "Yuk."
Gueㅡngga tau kalau acara nonton film saja bisa bikin jantung gue berdetak gila-gilaan.
°•°•°
To be continue yah kawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 2958 Mdpl
FanfictionDi puncak Gunung Gede dengan ketinggian 2.958 Mdpl, dia malah menyatakan cinta di saat yang gue butuh adalah kopi panas. #ㅡenam pagi ; 1. photo cover by fullfeeled.