Dara dan Kekhawatiran.

231 20 3
                                    

"Sebentar, MAKSUD LO?!"

Gue secara refleks memundurkan wajah, takut-takut kalau Abel menyemburkan api. Sore ini Abel sedang menemani gue menunggu rapat Mapala di kantin, gue memanfaatkan waktu ini buat menjelaskan dan menawarkan dia jadi manager band. Tapi, berujung gue disemprot.

"Yang bener aja deh, Dar. Orang slebor kaya gue jadi manager? Bisa berantakan yang ada."

"Ngga, Bel. Percaya sama gue. Lo tuh cocok banget jadi manager. Lo cuma slebor ke diri lo sendiri."

"Tetep aja, gue ga bisa ngurusin orang lain."

"Bisa! Buktinya lo dari dulu sering jadi panitia event, ikut organisasi, terus ikut turnamen taekwondo juga kan?"

Abel diam. Gue paling ngerti dia, Abel sangat mampu sebagai manager karena dia punya banyak pengalaman bekerja dalam tim. Abel cuma terlalu cuek. Sedangkan gue kebalikannya, gue paling tidak bisa multitasking. Itulah kenapa gue cuma bisa aktif di Mapala.

"Lo tuh ya, setelah lo deket sama Ka Satrio dan bandnya, cerita lo makin aneh, tau?"

Gue mengernyit, ada sedikit rasa untuk menoyor kepala Abel yang segera gue tahan. Bisa-bisanya dia menghubungkan tawaran ini dengan kedekatan gue dan Satrio. "Pokoknya lo pikirin dulu deh tawaran gue."

"Males," sahutnya cepat. Gue berdecih.

Gue yakin Abel akan memikirkan tawaran gue, mengingat dia terbiasa sibuk dan sekarang kegiatannya sedang sangat senggang. Abel pasti gerah berdiam diri.

Tak lama, Satrio muncul dari arah fakultas. Akhir-akhir ini ia sedang sibuk meminta keringanan absen, karena jadwal mereka akan padat. Setau gue, ini juga termasuk dalam kontrak, mengingat seberapa seriusnya debut mereka. Gue menghela napas, kalo Abel mau jadi manager mereka pasti hal kaya gini ngga akan dilimpahkan sekaligus ke pundak Satrio.

"Hey, Dar."

"Hai, Kak."

Oh iya, hari ini Satrio ikut rapat dengan Mapala karena pendakian hanya tinggal menghitung hari. Gue berkali-kali menanyai ini, tapi dia benar-benar mau ikut mendaki. Jawaban Satrio masih tidak berubah, dia kekeh ingin ikut. Bahkan mengenai keinginannya menghilangkan fobia karena gue itu juga masih belum berganti. Dibanding kepada diri gue, gue lebih khawatir dengan keadaan Satrio nanti.

Gue dan Satrio pamit, sedangkan Abel kemudian pergi entah ke mana. Katanya mau belanja. Kami berdua berjalan menuju ruang Mapala. Begitu gue datang, ternyata sudah cukup banyak yang berkumpul. Gue mengernyitkan dahi. "Tumben amat?" Anggap itu sindiran, tapi gue juga heran ada angin apa mereka tepat waktu?

"Pada takut lo ngamuk lagi kaya kemarin, serba salah aja kaya Raisa." Pasti sudah bisa menebak kan itu jawaban siapa? Iya, si Bang Pongki yang super rese. Tapi gue akan tetap mengapresiasi niat mereka, apapun itu, pasti mereka berusaha untuk bisa tepat waktu hari ini.

Rapat hari ini cukup memakan waktu. Banyak hal praktikal yang kami bahas agar tidak ada kecelakaan yang tidak diinginkan. Begitupula gue dan senior lainnya, walaupun udah cukup sering mendaki, tetap aja persiapan yang matang itu sangat perlu. Setelah memastikan informasi, barang bawaan, dan lainnya, kami pun membubarkan diri.

Ketika gue keluar gedung, sore sudah hampir beralih ke malam. Langit samar-samar menjadi ungu begitu Satrio menyusul gue di area parkir motor. Dia berdiri di depan gue dengan helm di tangannya yang terjulur ke depan wajah gue. Tidak langsung menerima, gue menatap Satrio sejenak. Sejujurnya gue sangat mempertanyakan keinginan Satrio untuk ikut pendakian ini. Maksudnya, bukan gue melarang atau menentang, tapi gue khawatir. Penjelasan dia soal keinginannya untuk menghilangkan ketakutan akan ketinggian itu, menurut gue pribadi, bukannya bisa dilakukan ketika jadwal dia cukup senggang nanti, ya? Satri sekarang ini sedang sibuk-sibuknya dengan urusan kuliah, organisasi, bahkan persiapan debut band. Tapi kenapa tetap mau ikut mendaki?

"Dara?"

Gue menghela napas. "Aneh tau ga."

"Maksudnya?"

"Iya, kamu aneh. Kenapa masih mau ikut padahal udah tau sibuk?"

Bukan jawaban, Satrio cuma tersenyum dan memakaikan helm ke kepala gue. "Udah ayo naik, keburu maghrib."

Gue udah ngga bisa menentang, akhirnya naik ke boncengan motor yang kemudian melaju keluar area parkir kampus. Bahkan setelah mondar-mandirnya Satrio yang super sibuk, masih tersisa aroma parfum yang samar-samar tercium karena terpaan angin. Wangi kayu yang sedikit manis dan tercampur dengan musk. Gue hanya bisa menatap punggungnya yang, sangat perlu diakui, lebar dan tegap. Orang ini, masih begitu aneh. Aneh yang menyenangkan.

[1] 2958 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang