Serah terima jabatan ketua BEM baru saja selesai. Adalah Satrio Adipramana Pangestu, atau akrab dipanggil Satrio, yang menjabat ketua baru untuk periode ini. Sosok tegas bagi yang belum mengenal dekat, namun bagi sahabatnya, dia yang selalu memaklumi tingkah gila mereka dan menerima tanpa komplain. Bahkan setelah lelahnya acara, dia masih menyempatkan diri ke ruang BEM untuk membenahi ruangan sempit itu.
Sibuk merogoh kunci ruangan di ranselnya, tanpa sadar pintu ruangan di sebelahnya terbuka. Satrio sempat menoleh sejenak saat perempuan bertubuh kecil keluar sambil menyeret matras yang cukup lebar. Sangat berbanding dengan ukuran badannya. Berniat menawarkan bantuan, namun suara nyaring yang dikeluarkan perempuan itu mengurungkan niatnya. Dia tampak memarahi seseorang yang ada di dalam ruangan. Seingatnya, itu adalah ruang Mapala, UKM yang cukup bertahan lama di kampus tersebut. Sempat bertukar pandang beberapa saat, perempuan itu berlalu masih sambil bersungut. Satrio tanpa sadar masih memperhatikan, lebih tepatnya matras yang diseret.
"Marah-marah terus nenek satu itu."
Satrio menoleh, seorang laki-laki sudah mengintip dari ruang Mapala yang ia yakini sebagai kakak tingkatnya. Satrio merespon dengan kekehan ala kadarnya.
"Namanya Dara."
"Huh?"
"Nenek-nenek itu, namanya Dara. Saran aja, hati-hati. Dia suka gigit."
Satrio tergelak pelan. Setidaknya ia tau anggota Mapala sangat dekat dan akrab sampai bisa saling bercanda dan meledek, karena tidak ada nada menjelekkan dari senior tersebut yang kemudian Satrio kenal sebagai Yongki.
Sejak saat yang sangat singkat itu, Satrio menyadari betapa seringnya dia dan perempuan kecil itu saling bersinggungan. Ketika Satrio baru saja keluar dari ruang BEM, Dara tiba di ruang Mapala dengan seplastik gorengan panas. Ketika Satrio datang ke ruang BEM di antara padatnya jadwal kuliah sore, Dara sedang duduk di depan pintu ruang Mapala sembari mengipasi wajahnya. Atau, seringkali mereka memasuki gedung UKM bersama karena bertemu di area parkir. Dari sekian momen yang sekelibat itu, Satrio selalu mendapati Dara yang tertawa renyah.
Seolah-olah gadis itu selalu mengantungi segenggam komedi ringan di sakunya.
Dara bersuara nyaring dan sedikit melengking, hampir semua kata-kata yang dilontarkan seperti petasan yang meletup-letup, dan dalam sehari bisa memarahi anggota Mapala dengan sudut bibir yang melengkung dan mata yang tetap berbinar. Satrio nyaris juga menjadi pendengar setia omelan Dara karena suaranya yang seringkali menembus hingga ruang BEM. Ia tahu bagaimana reputasi Dara di antara anggota Mapala, dalam arti positif, semua keluhan mereka sebenarnya adalah candaan. Satrio juga tahu, bahwa Dara menyadari itu.
Tanpa sadar dia sudah menjadi pengamat gadis ekspresif tersebut. Satrio hanya menganggap kebiasaan tanpa sadarnya itu adalah sesuatu yang lumrah-lumrah saja —ruangan mereka bersebelahan dengan jadwal rapat yang sama intensifnya. Sampai pada suatu malam usai rapat BEM yang tidak bisa Satrio ingat detailnya akibat perasaan terkejut, dia mendapati Dara menangis hebat di belakang pelataran parkir. Tempat tersebut tidak sepenuhnya sepi karena mahasiswa masih banyak yang berlalu-lalang bahkan terkadang menginap di kampus, namun bukan berarti juga ramai. Dara duduk di trotoar kantin yang sudah lama tidak terpakai, berada di belakang area parkir ketika Satrio berniat memindahkan motornya ke depan gedung UKM agar memudahkannya pulang tengah malam nanti.
Dara pada saat itu sangat berantakan. Namun dibanding penampilannya, bahu mungil itu berguncang keras dengan tangisan yang memilukan. Ada gejolak kuat di dadanya untuk bertanya; kenapa nangis? Ada masalah apa? Siapa yang bikin kamu nangis?
Dan, sepenting apa orang itu sampai kamu harus menangisi dia?
Gejolak yang datang itu seperti embusan angin, langsung menghilang begitu saja. Namun sangat kuat, begitu kuatnya hingga Satrio gemetar takjub dengan emosinya. Tangannya mengepal untuk menyadarkan diri, betapa tidak sopan dan tidak berhaknya dia atas pertanyaan tersebut.
Yang bisa ia lakukan hanya berdiri, tiga meter di belakang Dara, dan memunggunginya agar matanya tidak memproyeksikan kesedihan gadis itu ke dalam otaknya yang, sangat memungkinkan, akan menciptakan gejolak aneh lainnya.
Tangisan Dara malam itu berlangsung selama dua jam. Selama itu, Satrio menyatu dengan temaramnya pelataran parkir kampus. Bohong jika dia tidak menyesal, setidaknya Satrio ingin memberikan jaket yang dipakainya agar Dara tidak menangis sambil kedinginan. Tapi logika menahannya —meskipun dia juga tidak tahu apa pada saat itu dia sedang berpikir dengan logika atau hidungnya karena terlalu cemas. Malam itu pula menjadi tanda absennya Dara selama sepuluh hari dari pandangan Satrio.
Ia mengetahui Dara tidak datang ke kampus tiga hari setelah malam itu. Satrio berpikir, semua orang perlu waktu untuk menata hati. Hari keempat, kelima, keenam, Satrio juga ikut gusar. Ia menjadi gelisah dan khawatir.
Apa dia sakit?
Dirawat?
Apa kondisinya parah?
Apa masalahnya sangat serius?
Apa dia sendirian saat ini?Hingga hari kesembilan, Satrio tidak mendengar kabar apapun seolah memang tidak ada yang diketahui. Dan di hari kesepuluh, seorang teman perempuan Dara yang ia tahu bernama Abel sedang berbicara dengan salah satu anggota Mapala, mengatakan bahwa Dara tidak akan bisa mengikuti kegiatan organisasi karena jadwal terapi. Informasi tersebut hampir tidak menjawab apapun dan menimbulkan pertanyaan lain di benaknya.
Terapi apa?
Penyakit apa yang dia idap?
Atau, apa dia masih menangis?Namun sejak detik itu, meski seberapa penasaran dan khawatirnya, Satrio seolah dilarang untuk fokus pada perasaannya oleh setumpuk tanggung jawab dan tugas. Tubuhnya terus bergerak, otaknya terus berpikir, tangannya terus bergerak, entah mengetik hasil penelitiannya, atau menuliskan lirik lagu. Di antara sederet kegiatan itu, tidak ada Dara di dalam satupun elemennya. Seperti, pertemuan singkat yang sudah ia lalui selama ini, memang hanya sekedar pertemuan singkat. Situasi itu berlanjut bahkan hingga empat bulan lamanya.
Ah, gawat.
Dia harus segera melihat Dara sebelum benar-benar lupa bagaimana lekuk senyum gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 2958 Mdpl
FanfictionDi puncak Gunung Gede dengan ketinggian 2.958 Mdpl, dia malah menyatakan cinta di saat yang gue butuh adalah kopi panas. #ㅡenam pagi ; 1. photo cover by fullfeeled.