"Za, ntar malem lo ga usah ikut kumpul."
"Loh, kenapa?"
"Lo udah empat hari pulang malem terus, bisa tumbang lo pas ngedaki."
"Yaelah gue kira kenapa. Santai lah."
Gue menanggapi Bang Rizky, ketua Mapala, sambil mengunyah pocky. Kami lagi ngga berada di ruang Mapala melainkan di koridor jurusan gue. Iya, gue dan Bang Rizky memang satu jurusan. Tapi dia kakak tingkat gue.
"Jangan ngeyel, Za."
"Gue ga ngeyel, Bang."
"Terakhir kali lo batal ngedaki gara-gara apa? Lo tumbang duluan karena kecapekan selama persiapan."
"Itu udah lama."
"Itu baru tiga bulan lalu."
Gue berdesis. Tiga bulan lalu gue emang batal ikut pendakian akibat gue kena tifus dan harus dirawat, kata dokter waktu itu gue terlalu sering pulang malam dan kurang makan.
"Bang..."
"Mending abis kelas terakhir lo pulang, istirahat. Besok juga gitu, sampe seterusnya. Percaya aja sama gue."
"Ya ga gitu lah, gue juga punya tanggung jawab."
"Kesehatan lo juga tanggung jawab lo."
Ini kenapa tiba-tiba Bang Rizky jadi rese sih?
"Yaudah. Iya iya gue ga ikut ngumpul lagi. Kalo ada apa-apa kabarin gue ya?"
"Iya, tenang aja."
Bang Rizky menepuk pundak gue dan pamit untuk ke kelas selanjutnya, gue menjawab dengan senyuman dan anggukan. Selama gue ikut Mapala, ada dua orang yang paling gue hormati. Bang Yongki dan Bang Rizky, mereka itu seperti sosok kakak yang ngga pernah gue punya. Bedanya, Bang Yongki itu suka jahilin gue. Dulu, gue jadi korban keisengan dia terus. Sedangkan Bang Rizky, seperti tadi, sangat protective dan sulit dibantah.
Anehnya, gue suka.
Gue melangkah ke ruang dosen untuk mengumpulkan tugas makalah gue. Kelas terakhir gue diganti dengan pengumpulan tugas sekaligus mengambil fotokopi bahan materi untuk minggu depan.
Gue mengetuk pintu ruang dosen lalu membukanya, sedikit mengintip dan ternyata hanya ada beberapa dosen di ruangan bahkan dosen pengampu mata kuliah gue ngga ada di sana. Gue pun menaruh makalah di atas meja dosen, di samping tumpukan makalah kelas gue ada tumpukan fotokopian materi, gue mengambil salah satunya. Ternyata ada lima belas lembar, tebel banget.
Ketika mau keluar, sekilas gue melihat Satrio sedang duduk di ujung ruangan. Sepertinya sedang berbicara dengan dosen lainㅡgue ngga tau siapa dosen itu karena belum pernah diajar beliau. Satrio melihat gue dan tersenyum, gue balas dengan senyuman tipis dan anggukan.
Ngapain dia ke sini? Selain gedung ini bukan jurusannya, kami juga beda fakultas.
Gue keluar ruang dosen dan di depan sudah ada Abel berdiri, sambil mengunyah batagor.
"Lo udah ngambil fotokopian?"
"Udah tadi."
Abel memeluk lengan gue dan kami melangkah keluar gedung jurusan. Sesekali Abel menyuapi gue dengan batagornya.
"Lo udah makan belom?"
Gue mengangguk.
"Tumben."
"Cih. Giliran belom, gue dihujat abis-abisan."
"Emang pantes sih lo dihujat."
"Bangsat."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 2958 Mdpl
FanfictionDi puncak Gunung Gede dengan ketinggian 2.958 Mdpl, dia malah menyatakan cinta di saat yang gue butuh adalah kopi panas. #ㅡenam pagi ; 1. photo cover by fullfeeled.