[fh · 03] - guilty feeling

264 24 0
                                    

Jika boleh, akan kupersempit semesta hanya untuk kita berdua. Hingga suatu hari kau menghilang, kutakkan kesusahan mencari di mana kau berada. Atau setidaknya tak perlu menahan lebih lama rindu yang tak kunjung mereda nan menyesakkan dada.

***

Awal Oktober, 2021.

Langit hampir merona, memberikan gurat oranye kemerahan dengan sentuhan mega yang tersusun tak teratur. Fira masih setia duduk di kursi depan meja belajar. Menatap nanar pada sebuah benda yang membubuhkan kerinduan tak terhingga. Ia ingin menggenggam tangan itu lagi. Tangan yang selalu menariknya tanpa sebuah aba. Membawanya pada sebuah kebahagiaan kecil lalu sekejap pergi meninggalkan rindu yang terus terpupuk subur.

Tirai putih bergambar bunga Lily di kamar itu mengayun lembut. Berombak beberapa kali seolah hendak menyapa satu-satunya penghuni di ruangan dengan lantai yang masih belum juga dibersihkan. Hingga beberapa saat berlalu, pintu kamarnya diketuk lembut beberapa kali.

Fira menghela napas. Siapa yang datang pada waktu senja hampir habis? Teman sekamarnya mungkin akan langsung menerobos masuk saja.

Dengan sedikit malas dan dengkusan kecil, kaki berbalut celana hitam longgar selutut itu melangkah mendekati pintu. Begitu melihat siapa sosok di balik pintu, Fira mematung sebentar-menatap dengan raut tak percaya.

"Kenapa terkejut gitu?" tanyanya dengan nada jenaka, tak lupa dengan senyum jahil yang mencetak gurat-gurat lelah di wajahnya.

"Bundaa!" Gadis itu menghambur dengan cepat ke pelukan wanita paruh baya itu. Matanya hampir memanas. Semoga aja tidak ada linangan air mata yang akan membasahi wajahnya. Sejujurnya, Fira malu.

Tawa lembut berderai dari bibir wanita itu. Saking rindunya, Fira bahkan lupa jika harus membawa ibunya masuk lebih dulu. Hampir sebulan mereka tak bertemu. Disebabkan tugas kuliah Fira yang tiada habis, pun Fira masih takut jika sewaktu-waktu menangis sebab merindukan orang itu.

Fira membawa sang ibu masuk. Namun, baru selangkah, wanita itu membelalak menatap kekacauan di ubin yang terbuat dari kayu itu.

"Astaga, Ra! Kamu abis ngapain?" pekiknya lantas menggeleng tak habis pikir. "Anak cewek kok jorok gini?"

Fira tersenyum kikuk menanggapinya. Lalu tak lama, ia mengutip setiap gumpalan kertas sisa kerjanya yang salah. Ia selalu punya kebiasaan gitu. Mengumpulkan sampah-sampah lalu membuangnya nanti ketika punya mood baik. Kadang ia berpikir, apakah ada orang sepertinya di dunia ini?

- Kamu beda, makanya aku suka. -

Suara itu terputar kembali di kepalanya. Fira berusaha mengeyahkan dengan mengerjab beberapa saat. Kala semua sampahnya sudah terkumpul, ia membuangkan di tong sampah depan pintu kamar. Lantas kembali lagi ke dalam-duduk di sisi sang ibu di atas ranjang.

"Kamu itu udah besar, Ra. Bisa nggak ubah kebiasaannya?" protes wanita paruh baya itu. Rautnya tampak tak main-main.

Jika di rumah sendiri, mungkin Fira akan habis kena omel jika mendapati seupil saja sobekan kertas berserakan. Namun, saat ini Fira tak tinggal di rumah. Tidak ada yang akan mengomelinya. Paling-paling April-teman sekamarnya-yang kadang suka mengomel kalau tidak dibangunkan saat ada kelas pagi. Padahal, Fira sudah lelah membangunkan. Pun begitu, Fira merasa ada yang tak lengkap.

"Iya, Bun. Maaf." Fira menyengir.

Terdengar helaan napas pelan dari ibunya. Wanita itu tersenyum lembut pada gadis yang duduk di sampingnya. Lalu, tangan yang kulitnya hampir mengeriput itu mengusap sayang kepala Fira. Melepaskan ikatan rambut yang seperti janggal di kepalanya. Menyisir lembut surai hitam sepanjang pinggang itu.

Forever Hours [ completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang