Semakin tinggi harap, akan semakin sakit ketika dijatuhkan. Itu sebabnya orang melarang untuk berasa pada yang tak pasti. Terutama pada cinta yang akan selalu berujung perih.
***
Awal Oktober, 2021
Angin membuat pepohonan saling menggesek dedaunan. Terdengar merdu ketika memasuki sebuah ruangan senyap ketika penghuninya sibuk menatap lembaran memo singkat di ujung jari. Aksaranya tak hanya membawa bermacam pertanyaan, tetapi juga ... sebuah harapan.
Apa ini dari Arya?
Jantungnya berdegup kencang, darah berdesir hebat. Fira merasa sesak, seperti kehabisan oksigen. Matanya hampir memanas. Hendak melesakkan air mata yang siap kembali turun.
Namun, ia lekas tersadarkan. Harapnya hanyalah sekedar asa. Semesta akan terlalu baik untuk mengabulkan semuanya.
Manik kecoklatannya mengerjab sebentar. Mencoba menahan dinding yang hendak roboh lagi itu. Tidak, jangan lagi. Jika begini, Fira akan kembali ditekan rasa bersalah terhadap ibunya.
Akan tetapi, sisi lain dari kepalanya mencoba untuk memberontak. Fira mendongak, menatap pintu bercat putih di depannya. Dia hanya memastikan. Berharap dalam diam jika mungkin seseorang itu berdiri di balik pintu ini dengan senyum yang menampakkan lengkungan dalam di pipi, gigi-gigi berjejer rapi, juga rentangan tangan untuk mendekap erat. Menumpahkan segala rindu yang tak pernah terucap atau terlukis secara jelas.
Tangannya sudah berada di handle pintu, detak jantung kian berdentum hebat. Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menarik daun pintu untuk terbuka.
Harapnya runtuh. Sayang sekali menaruh harap pada angin, ia bahkan tak mau tahu jika kau beringin. Anganmu sekedar terbang, mengambang sebentar, lalu hilang.
Sebenarnya sakit yang dirasakan Fira tidak begitu menusuk. Ia sudah terbiasa dengan harap tinggi yang tiba-tiba dilesakkan ke dalam tanah agar tak kembali naik. Pun, di depan pintu itu, telah berdiri seorang gadis dengan tangan yang seperti hendak menggapai handle pintu. Dengan berbagai bungkusan memenuhi kedua tangan, ia memberikan cengiran lebar pada Fira.
"Woahh, Fira! Kamu kayak cenayang, deh, bisa tau kapan aku pulang!" seru gadis itu heboh, lalu menerobos masuk dengan sepatu hak setinggi tiga sentimeter.
April tidak tahu, padahal Fira bukan berniat membukakan pintu untuknya.
Fira melotot. "Heh, sepatu!" Entah apa saja yang alas kaki itu injak di luaran sana. Mengapa April dengan seenaknya menjejakkan sepatu itu di lantai yang biasanya tempat mereka makan bersama?
Gadis berbaju putih dan bercelana denim biru tua itu meletakkan kantong-kantong plastik putih di kaki ranjang dekat dengan meja belajar. Fira tidak tahu berapa banyak dan apa saja yang April beli. Akan tetapi, itu benar-benar mengganggu mata.
"Eh-" April melirik ke bawah, pada kaki sendiri, lalu tertawa cengengesan. Melepaskan dengan tergesa sepatu berhak setinggi tiga sentimeter berwarna kebiruan itu. Matanya tak lekas lepas dari Fira yang bersandar di daun pintu dengan raut mengintimidasi.
Sementara Fira menggeleng pelan lalu berjalan santai ke ranjang tingkat dua, April sendiri melesat masuk ke dalam kamar mandi dengan baju ganti dalam pelukannya. Fira sendiri menjatuhkan diri di ranjang bagian bawah, bersusah payah menggapai benda persegi yang tergeletak tanpa daya di atas meja belajar.
Ia akan mengisikan daya untuk ponselnya. Seharusnya, hal tersebut tak lagi penting. Mengingat, tangannya akan jahil mencoba menghubungi yang tak semestinya dan membuka memori lama yang menyayat raga. Hanya karena Fira masih membutuhkan informasi dari kampusnya. Tugas mendadak atau mungkin jadwal mata kuliah yang tiba-tiba saja dibatalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Hours [ completed ]
RomanceZhafira Freya pikir hubungannya yang berjalan terlalu mulus dengan Arya Alvaro adalah sebuah kabar baik. Nyatanya, hubungan jarak jauh adalah jatuh yang paling cocok untuk mereka. Tanpa panggilan masuk, tanpa panggilan keluar, atau pun pesan yang se...