Ketika kita menunggu-baik agar harap segera terwujud atau hari yang buruk segera terlewat-waktu tak ubahnya bergerak kian melambat. Sedangkan untuk bahagia tersendiri, waktu seolah berlalu terlalu cepat.
***
Awal November, 2021.
Semuanya terasa begitu hampa, sunyi, dan senyap ketika orang yang paling dekat dengan hati kita benar-benar pergi, mustahil berharap untuk dapat kembali. Hanya tinggal berharap memori yang terus melekat itu tidak mengganggu untuk menjalani hari-hari selanjutnya.
Mentari baru saja terbit beberapa jam lalu. Tidak terlalu terik, tidak pula tertutup mega keabu-abuan, setia pada kehangatan. Rumah itu, setiap ruangan yang dilewati angin terasa begitu sunyi meskipun sesekali terdengar suara barang-barang yang digeser atau langkah kaki.
Zhafira Freya bersama dengan April, di hari libur itu memilih bersama-sama membersihkan rumah tempat dulu ia dan bundanya tinggal bersama. Di setiap sudut rumah, di setiap benda yang tersentuh, ada rasa dalam dadanya yang membludak. Sesak, perih, tetapi rindu lebih banyak.
Begitu banyak kenangan di sana, bahkan ia masih bisa merasakan kehadiran bundanya. Tersenyum, tertawa, mengomeli, atau bahkan memeluknya ketika petir dan hujan datang di malam hari.
Sementara April memasukkan beberapa barang ke dalam kardus agar tak berdebu, Fira menatap lamat-lamat potret di atas nakas dua insani yang tersenyum lebar. Rasa rindu itu kian membuncah. Matanya memanas, hampir menggenang, tetapi ia memilih untuk menaikkan lengkung di kedua sudut bibir.
"Semuanya bener-bener di luar perkiraan, ya, April." Fira berkedip beberapa kali, masih dengan senyum di wajahnya. Sahabatnya yang sibuk dengan kardus-kardus di sudut ruangan akhirnya menoleh. "Ayah pergi, Arya pergi, dan sekarang bunda juga pergi."
Samar, terdengar langkah mendekatinya. Kemudian, tergantikan dengan dekap erat menenangkan sekaligus menghangatkan. "Aku masih di sini, Ra. Sahabat kamu masih di sini. April masih di sini."
Tubuhnya diputar, April menangkup wajah sahabatnya. Senyum di wajah Fira luntur perlahan. "Aku emang nggak janji kalau kita selamanya kayak gini terus. Tapi aku bakal berusaha supaya selalu ada buat kamu. Hmm?" Sebelah tangan yang terkepal diacungkan ke udara, gadis berambut pendek itu memberi senyum yang bahkan bisa mengusir awan kelabu yang akan datang.
Tanpa diminta, senyum di wajah itu naik kembali meski tak secerah milik April. Benar, saat ini ia punya April. Sahabatnya yang punya posisi hampir sama seperti seorang ibu. Fira butuh apa lagi? Mungkin agak terdengar egois jika gadis itu menjadikan April menjadi penopangnya saja. Namun kali ini ia akan mengubahnya, ia akan membuat April menjadi alasannya untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
April bergumam panjang. "Udah, udah. Entar ini nggak siap-siap. Pulangnya entar juga makin lama," gerutunya. Gadis itu melangkah kembali ke sudut ruangan.
Rumahnya mungkin tidak akan ditinggali dalam waktu dekat sebab Fira harus tinggal di asrama. Ia akan sangat merindukannya. Barangkali bisa sesekali mampir seperti ini jika sedang libur. Namun, angin yang menerbangkan tirai-tirai putih di sana seperti membawa sesuatu yang lain.
"April," panggilnya yang lantas bersahut gumam. "Kamu mau bantuin aku berubah, nggak?" Sepasang mata lantas berkilat heran menatapnya.
Di awal bulan yang baru ini, hampir di penghujung tahun, Fira mungkin tak punya terlalu banyak kenangan yang terlalu baik. Akan tetapi, tahun belumlah berakhir, hari ini bahkan juga belum selesai. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih baik dari sekadar menunggu seseorang yang tak pasti kembalinya.
Ia ingin-
"Kamu mau ngomong apa? Jangan lama banget, dong, mikirnya!" sentak April yang suaranya meranggas hampir ke seluruh sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Hours [ completed ]
RomanceZhafira Freya pikir hubungannya yang berjalan terlalu mulus dengan Arya Alvaro adalah sebuah kabar baik. Nyatanya, hubungan jarak jauh adalah jatuh yang paling cocok untuk mereka. Tanpa panggilan masuk, tanpa panggilan keluar, atau pun pesan yang se...