[fh · 31] - the hours are too soon come and go

56 10 0
                                    

Ada yang ingin agar siang tak lekas kelabu,
ada pula yang ingin agar malam tak lekas berlalu.

Adapun aku, hanya ingin dirimu,
mematri senyum di sisiku,
menatap hamparan gejolak bintang
tanpa sempat berpikir tentang
punggung yang saling beradu.

***

Pertengahan Desember, 2018.

"Zhafira ...." Jeda pendek akibat napas yang diembus singkat ternoda siulan angin yang lirih. "Kamu tau, apa yang lebih indah dari taburan bintang ketika kita duduk bersama di lapangan? Atau barangkali bulan separuh yang bersinar di atas kepala kita? Mengapa kamboja dan melati yang juga sama indah ternyata tidak dapat menyaingi satu keindahan di alam semesta?"

Tidak ada satu pasang mata pun yang melihat. Hanya mereka berdua. Namun, semesta yang menjadi saksi ketika bait-bait untuk mengagungkan afeksi berputar-putar bersama angin.

"Karena yang paling indah itu kamu, Zhafira. Nggak ada yang bisa nandingin."

"Kamu ...." Napas dihela terlalu panjang. Kalau terlalu lama jedanya, ia malah risau kalau angin yang akan membawa pergi bait-bait yang belum sempat diucap. "Apa kamu bisa terima kalau aku ingin jaga hati kamu agar indahnya hanya menguar di sekitar aku aja? Kamu ... kamu mau jadi pacar aku, Zhafira?"

Biar Arya pikirkan lebih dulu. Jauh, jauh sekali sebelum hari ini, laki-laki itu sudah dirundung dilema berkepanjangan hanya untuk mengatakan sepenggal ucap. Sejujurnya ia tak berharap lebih---meskipun jauh di dalam lubuk hatinya ia ingin diterima---hanya sekadar mengeluarkan macam-macam hal yang memenuhi kepala agar dadanya tak kian terasa sesak terus-menerus.

Mataharinya dikungkung mega yang berwarna abu-abu terang. Sore merangkak makin menua dan angin yang bertiup agak menggigilkan itu seolah tengah mendorong ia agar lekas-lekas menjawab. Dedaunan cemara laut serupa rambut-rambut hijau tua di atas mereka bergoyang, lantas berjatuhan. Seolah ikut mendesak juga gadis yang tengah menggigiti bibirnya.

Arya tidak punya hadiah istimewa apa pun untuk diberikan. Hanya beberapa kuntum kamboja yang masih segar di tangan yang masih mengambang di udara tanpa berniat diraih. Meskipun di jauh hari Arya sudah merencanakan pernyataan perasaan ini. Bahkan untuk puisinya, Arya tidak merencanakannya. Tiba-tiba saja bibirnya ingin membubungkan ucap yang sebenarnya terkubur lama di dalam lama. Tidak pernah dibagi untuk siapapun juga.

Waktunya terus bergerak. Angin yang bertiup agak rusuh menggerakkan semua yang dilewatinya, seolah tengah ikut membuat segala sesuatu yang ada di sana ikut merasakan keresahan yang sama juga. Belum juga ada balas ucap yang diterima. Hanya bagian-bagian tubuh yang terus bergerak gelisah.

Arya yang masih berlutut tidak bisa dibilang adalah posisi yang cukup nyaman. Namun, bukan berarti laki-laki itu akan berhenti menunggu untuk mendengar jawaban yang memuaskan. Fira barangkali hanya masih terkejut dengan perlakuannya yang sangat tiba-tiba. Meskipun kalau Arya mengatakan gadis itu punya rasa yang sama terhadapnya, Fira masih punya hak untuk mengulur waktu lebih banyak. Berkemungkinan saja untuk mencari lebih banyak kepastian dari setiap kalimat yang mengudara.

Wajah yang berseri-seri, senyum yang terlalu sumringah, dan manik gelap yang memancarkan harap terlampau berkilau, kemudian dengan cepat berubah sebaliknya. Air mukanya berganti sedikit kecewa, senyumnya hilang, binar di mata pun ikut binasa. Namun, angin yang meniup kelopak kamboja di tangannya seolah sedang menyuntikkan lebih banyak semangat.

"Aku nggak berharap banyak, Ra. Kalau memang kamu belum siap atau memang nggak mau, aku nggak masalah soal itu." Laki-laki itu menelan salivanya, ikut melahap sepatah kalimat yang rasanya seperti duri tanpa wujud yang tengah menusuk kerongkongan. "Aku cuma mau bilang yang sejujurnya soal perasaan aku. Kalau kamu nggak punya perasaan yang sama, itu hak kamu."

Forever Hours [ completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang