[fh · 21] - cause with hope, someone's going to move

48 10 0
                                    

Pertengahan November, 2021.

Jari-jemari terkepal kuat di bawah meja, buku-bukunya bahkan sampai sampai memutih, dan urat-urat di tangannya juga kelihatan. Jika saja bukan karena alasan kesopanan, lelaki itu pasti akan langsung melayangkan tinju pada pria berjas hitam yang menyandang kepongahan itu. Namun, ia tak melakukannya. Sangat konyol melukai ayah sendiri sebagai alasan masuk penjara.

"Kamu nggak bisa balik semudah itu," ucapnya dingin, tak terbantahkan. Alih-alih memutar tumit, pria dengan setelan formal serba hijau itu memilih menatapi jendela kaca yang memamerkan langsung pemandangan gedung-gedung modern pencakar langit. "Papa, kan, udah bilang. Kamu nggak bakal balik kalau belum pegang perusahannya."

"Tapi, Pa, aku nggak bisa," kata lelaki yang duduk di belakang meja kerja kaca. Ia bergerak gelisah sebentar sebelum akhirnya melanjutkan. "Aku nggak berbakat di bidang manajemen bisnis atau apa lah itu. Aku punya-"

"Maksudnya kamu hobi menggambar tidak jelas itu?" potong si pria paruh baya cepat. "Kamu pikir itu berguna, hah? Sudah Papa bilang, kan, kamu harus berusaha belajar. Kamu nggak akan bisa kalau nggak berusaha!"

Ia berbalik, menggemakan amarah, penekanan, dan pemaksaan dalam satu kalimat. Lelaki yang duduk itu tersentak sebentar. Putranya sampai harus menelan lagi bantahan-bantahan lain yang sudah berada di ujung lidah dengan pandangan turun dan kepala yang sedikit menunduk. Memang itu tujuannya. Tidak ada yang akan atau harus membantah.

"Reputasi perusahaan itu bagus. Kamu seharusnya dengan senang hati nerima kalau mereka dengan cuma-cuma kasih ke kamu."

Hawa di sekitar laki-laki muda itu mulai terasa dingin. Ia tahu ada tatapan ayahnya terlalu tajam tengah mencoba menusuknya, menghancurkan tiap-tiap mimpi yang sedang ia dirikan tinggi-tinggi.

"Dan kamu dengan bodohnya malah nolak. Kamu mau perusahaan kita bangkrut dalam waktu dekat? Kamu mau kita jadi miskin? Kenapa kamu nggak mikir soal itu? Kamu pikir hobi gambar kamu bisa ngasilin uang jutaan, hah?"

Meskipun ingin, laki-laki muda itu tak berani mengangkat kepala. Ada mata elang yang memandangkan terlalu intens, seperti anak panah yang hendak menjatuhkan rusa. Tanpa sempat mencicip sebentar, mimpi-mimpi di ujung tangannya terasa tak tergapai lagi. Ia lelah menjadi budak keinginan ayahnya, ia lelah menjadi semua yang orang inginkan, ia lelah dituntut untuk menjadi sempurna.

Laki-laki itu hanya ingin menjadi laki-laki pada umumnya. Ia ingin menuntut ilmu atas kehendak sendiri, untuk menggapai asanya yang tergantung tinggi. Bukan dipaksa seperti ini tanpa dimintai persetujuan dia suka atau tidak. Dia hanya ingin bebas.

"Percuma kamu Papa sekolahkan kamu terlalu tinggi di sini. Terlalu banyak membantah," lanjut pria ia berdiri pongah di balik meja kaca itu. Tak hanya ucapnya yang dingin, matanya juga masih bersinar sama saja.

"Kalau Papa kecewa, kenapa Papa nggak bawa aku balik aja? Selalu gitu, kan? Kalau aku nggak sesuai ekspektasi, semuanya selalu nyalahin aku. Nggak ada yang pernah nanya apa yang aku inginkan. Semuanya cuma mau keinginan kalian terwujud."

Sesungguhnya lelaki itu tidak tahu dari mana semua keberanian untuk mengutarakan suaranya berasal. Apalagi setelah ini mungkin ia akan berakhir dipukuli atau langsung saja dilempar ke luar jendela kaca itu. Lebih dari itu, ia hanya ingin didengar sekali saja. Diam-diam kembali menggantungkan asanya takut-takut. Meskipun ia tahu jika harapnya mungkin hanya tetap berakhir menjadi harap tanpa sempat dicicip barang sesaat.

Benar saja, pria paruh baya itu memukul meja kaca di depannya. Mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Sayang sekali suara yang mungkin akan merusak telinga itu tak jadi ia dengar sebab ketukan lebih nyaring terdengar lebih dulu di pintu kaca ruangan itu, satu-satunya akses masuk di sana.

Forever Hours [ completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang