Ada terlalu banyak harap yang disematkan pada sesuatu yang terlalu mustahil digapai.
Berlimpah asa yang digantung untuk membuat sesuatu menjadi tercapai.
Akan tetapi, manusia sampai lalai.
Bahwa ada sesuatu lain yang patut diinginkan agar jumpanya tak harus sampai menjadi sebuah perpisahan.***
- ditulis sembari mendengarkan komposisi milik Antonio Vivaldi - Summer (L'Estate), the 3rd Movement -
Akhir Oktober, 2021.Memang terang, tetapi langit tak memunculkan warna birunya. Kilatan-kilatan mungkin belum berniat muncul, tetapi ada gemuruh lain yang seperti tengah memangku kegelisahan tanpa mau berbagi. Ada awan keabu-abuan imajinatif yang mengelilinginya, seolah sesegera mungkin menurunkan badai.
Zhafira Freya tak mengetahui masalah apa yang tengah dihadapi sahabatnya. Sehabis dari toilet, April tak mengeluarkan sepatah kata pun. Biasanya ia selalu berbicara banyak; tentang teman satu jurusannya, dosen, atau apa pun yang menyangkut seluruh harinya di kampus.
Namun hari itu, Aprilia Faranisa terus-terusan memangku kebisuan dengan diktat-diktat kuliahnya dan laptop. Bahkan gadis itu sama sekali tak bertanya mengenai apa yang dibicarakan Randi sehabis ia pergi ke toilet. April seolah memilih buta dan bungkam akan apa yang terjadi.
"April ...," lirih Fira. Sahabatnya yang membuka pintu kamar asrama mereka, gadis itu mengikuti di belakangnya lalu mendudukkan diri di ranjang bawah.
Fira menghela napas panjang kala mendapati tak ada sahutan bahkan sebuah gumaman sekalipun. April masih terus menyibukkan diri: merapikan sepatunya, membereskan seluruh alat tulis, mengobrak-abrik lemari pakaian; seolah tak berniat sama sekali untuk membalas atau menatap Fira balik yang air mukanya sudah membendung kekhawatiran.
"Kamu kenapa, sih?" Fira meninggikan nada bicaranya.
Tepat setelah itu, April berhenti menyibukkan diri. Hanya sebentar. Detik berikutnya ia kembali lagi mencari-cari entah apa di dalam lemari. Namun tetap saja, tak ada sahutan yang jua terlontar dari bibirnya.
Fira bangkit, berjalan beberapa langkah, menghadapi April yang membelakanginya. "Kenapa diem aja? Kamu kalau ada masalah, cerita, dong!"
Napas dihela terlalu berat, April tak lagi mengobrak-abrik lemari. "Aku capek, Ra!" sahutnya agak memekik dan terdengar menahan emosi yang hampir meletup-letup. "Untuk kali ini jangan ganggu aku, please. Aku sakit kepala. Aku butuh istirahat."
Fira terhenyak. April mungkin memang hanya meluapkan emosinya, tetapi sesungguhnya gadis itu tak pernah mendengar keluhan yang seperti ini. Rapuh, marah, putus asa. Tergambar agak samar di punggungnya yang masih berbalut kemeja bermotif garis-garis. Sahabatnya itu terlalu pandai menyembunyikan perasaan negatif.
"April ...."
Gadis itu hendak menyentuh pundak sahabatnya, berniat memberi ketenangan yang sekiranya bisa membuat emosi April tak terus ditahan seperti ini. Akan tetapi, belum sempat, April sudah lebih dulu menampik dan berbalik. Wajahnya merah padam; tidak mengerti akibat amarah yang membuncah atau sebab tak tahan menampung lebih lama genangan di matanya yang siap luruh.
Senja hampir habis, langit kian menggelap. Fira melihat kilatan-kilatan tak tentu arah, bukan dari luar jendela, melainkan dari mata April yang semakin memerah dan penuh air mata yang entah mengapa tak jatuh juga.
"Kamu tau, kamu bisa ceritanya semuanya, sama aku, kan?" Fira hampir saja menyentuh pundak April. Namun, lagi-lagi tangannya ditepis sebelum sampai.
April berkedip, lantas seluruh air matanya pun luruh. Gadis itu dengan cepat menghapusnya dengan kasar. Napasnya dihela terlalu putus asa, lalu ia menggeleng kuat beberapa kali. "Nggak semua. Kamu nggak bakal ngerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Hours [ completed ]
RomanceZhafira Freya pikir hubungannya yang berjalan terlalu mulus dengan Arya Alvaro adalah sebuah kabar baik. Nyatanya, hubungan jarak jauh adalah jatuh yang paling cocok untuk mereka. Tanpa panggilan masuk, tanpa panggilan keluar, atau pun pesan yang se...