Senja tak pernah seindah yang dielukan mereka.
Jingganya hanya sementara.
Sebuah sekat tinggi yang datangnya pasti.
Sebuah isyarat bahwa sesuatu yang indah pasti akan berakhir pergi.***
Awal Agustus, 2021.
Pada saat suka kian tertanam makin tinggi, duka tak lagi jadi ancaman yang perlu dipikiri. Seharusnya, Fira punya intuisi lebih tajam, sebab hubungannya dengan Arya terlalu berjalan tanpa hambatan. Seperti badai besar yang dimulai dari heningnya ombak di lautan.
Sayang sekali, apa pun jenis entitas di dunia ini pasti akan berakhir pergi. Bahkan untuk jenis bahagia bernama cinta sekalipun. Sebuah kanvas harap yang ia gantungkan begitu senja lahir memang menjadi nyata. Namun seharusnya Fira sadar, keindahan senja hanya mampir sesaat.
Di bawah naungan langit yang terlalu cerah, kedua remaja duduk berdampingan beralaskan rerumputan. Sama-sama memilih memasang kebisuan dengan kemungkinan-kemungkinan yang sempat mampir di sudut kepala.
Satunya bergerak gelisah hendak mengeluarkan perkataan yang tercekat di pangkal tenggorokan. Sedangkan satunya lagi memilih tetap membisu, menunggu jenis patah apa lagi yang akan mampir.
"Maaf, Ra."
Karena pada dasarnya, kata maaf tak pernah cukup. Ia tak mengerti, semesta telah mengancang semuanya atau mereka yang terlalu tergesa. Apakah mentari yang bersinar di atas sana juga bagian dari naskah sebagai bentuk menghangatkan hati yang tengah patah?
"Maaf aku nggak bilang soal ini sebelumnya." Lirih, ucapan Arya bertiup bersama semilir angin. Terlalu rapuh, nadanya terdengar keruh.
Fira menekuk lututnya, berkedip beberapa kali lalu tersenyum simpul. "Nggak pa-pa."
Semua kalimat hanya bisa mengantung di ujung lidah. Ada begitu banyak macam kalimat bentuk kekesalan yang akan diungkapkan, tetapi ia hanya berakhir dengan senyum simpul dengan gumaman yang bahkan terdengar terpaksa. Jika harus membandingkan jatuhnya Arya dan Fira, mungkin tak ada apa-apanya dengan milik orang lain. Namun, sebenarnya tak ada rasa jatuh yang patut disepelekan.
"Nggak ada yang nggak pa-pa, Fira." Arya menggeram frustrasi. "Aku nggak suka semua ini. Aku nggak suka rencananya, pergi ini, ja-"
"Apa nentang bisa bikin situasinya jadi lebih baik?"
Lelaki itu terdiam, agak tertunduk. Menyatakan bahwa ia tak dapat menampik jika perkataan Fira memang benar. Sore memang masih terlalu muda, saking cerahnya seolah benar-benar dirancang agar kedua insan itu tak terlalu tenggelam pada patah yang tak seberapa.
"Tapi nerima gitu aja juga nggak ngebuat kita baik-baik aja."
Tawa mengudara bersama siulan burung gereja yang bertengger di ranting pohon. Bukan tawa yang disebabkan kelucuan, tetapi lebih dalam bentuk sebuah ejekan; bentuk sebuah ketidakberdayaan. "Ini cuma masalah jarak. Ini cuma London-Semarang aja, bukan Bumi-Neptunus." Fira melanjutkan tawanya lagi.
Tangan yang beristirahat di puncak lutut disentuh lembut. Tawa hambar tak lagi terdengar, Fira kembali membisu dengan helaan napas berat yang terus terembus. Gadis itu hampir menangis ketika Arya meremas tangannya lembut.
"Memangnya kenapa kalau kita pisah? Toh, juga nggak berpisah secara harfiah, kan?" Fira tersenyum lagi, terpaksa. "Kita masih bisa berhubungan, kan? Kita masih bisa telponan, chat, video call. Kita-"
Napas Fira tercekat, semua kalimat hanya bisa tersangkut di pangkat tenggorakan tanpa bisa diutarakan. Ia ingin mengeluarkan semua kekesalannya; ia tak suka jarak, ia tak suka jika harus berjauhan, tetapi Fira takut akan jadi orang yang egois karena tak sudi melepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Hours [ completed ]
DragosteZhafira Freya pikir hubungannya yang berjalan terlalu mulus dengan Arya Alvaro adalah sebuah kabar baik. Nyatanya, hubungan jarak jauh adalah jatuh yang paling cocok untuk mereka. Tanpa panggilan masuk, tanpa panggilan keluar, atau pun pesan yang se...