[fh · 29] - has the frangipani bloomed?

49 10 5
                                    

Akhir Februari, 2022.

Ada banyak tanya yang terlalu sulit diucap. Begitu bertumpuknya harap-harap yang belum sempat dicecap. Lantas, ada beberapa kisah yang harus mencicip indahnya cinta lebih dulu agar dapat menjadi genap dan lengkap.

Pun begitu untuk kisah ini. Kisah Arya dan Fira yang ternyata belum juga usai meski bandara telah ternoda jejak-jejak langkah kepergian bersama mata yang menganak sungai.

Bel di atas pintu kaca itu berdenting dua kali. Ukiran kayu mengilap di setiap pinggirannya disentuh sebentar sebelum akhirnya pintu kaca benar-benar tertutup lagi. Tempatnya hampir mendekati tenang, barangkali akibat pelanggan yang tidak terlalu banyak mengunjungi.

Dua kursi kayu dengan sandaran berukiran rumit ditarik menjauhi meja. Dedaunan jingga kekuningan dari pohon bintaro tertiup angin, dibawa bergoyang tanpa arah sebentar sebelum akhirnya rebah bersamaan di atas rerumputan. Dari balik jendela kaca besar itu, gedung-gedung bergaya reinassance seolah menyambut sebab bangkunya sudah cukup lama tak diduduki. Awannya berserakan, mengumpul di satu tempat seperti hendak menaungi pohon bintaro yang buahnya sudah menjuntai ke mana-mana.

"Hohoho! Welcome back!" Laki-laki itu bersorak penuh semangat saat baru saja memakai celemek hitam dengan logo secangkir kopi yang asapnya mengepul-epul. Ia menghirup napas dalam-dalam, mencoba meraup oksigen sebanyak mumgkin untuk memenuhi paru-parunya. "Rasanya seperti membaui kebebasan." Randi tertawa ringan setelahnya.

Kedua gadis itu, April dan Fira tertawa lirih bersamaan. Memang sudah lama sekali, ia sampai lupa menghitung kapan terakhir kali mereka bisa sedikit bernapas lega dari tugas-tugas yang datangnya selalu berkejar-kejaran.

"Emang kamu selama ini di penjara, Ran?" kelakar April. Ia baru saja mengeluarkan beberapa diktat kuliah dari tasnya bersama dengan laptop yang baru saja dihidupkan. Menatap sedikit mendongak pada Randi yang berdiri di sisi meja mereka.

Pernah sekali Fira bertanya mengapa Randi bekerja paruh waktu di kafe padahal orang tuanya bisa dibilang adalah orang yang sangat berada. Hari itu perpustakaannya tidak terlalu ramai, laki-laki itu tertawa sebentar sembari sibuk memperbaiki sedikit konstruksi jembatannya.

Dia bilang, "Rumah rasanya sepi banget. Sejujurnya aku kerja di kafe bukan mau nyari uangnya, tapi nyari kesenangannya." Waktu itu, Randi mengulas senyum hingga jejeran gigi-giginya tampak sedikit. Pandangannya menerawang. "Ngeliat ekspresi orang yang awalnya murung, tapi pas minum kopi berubah lebih tenang itu sebuah kepuasan tersendiri. Kalau kita nggak bisa bikin diri kita sendiri bahagia, membahagiakan orang lain itu sebenarnya lebih dari cukup."

Dari sana Fira belajar, kalau sesuatu yang kita kerjakan barangkali bukan semata-mata didasarkan kalau kita memang ahli di dalam bidang itu. Melainkan punya kesenangan tersendiri ketika mengerjakannya. Hampir sama juga ketika Fira memilih untuk terus menekuni desain-desainnya. Bukan semata karena Fira ahli di sana, sebab ada harap bundanya juga yang tersemat di sana.

"Emangnya kamu pikir semua tugas-tugas yang numpuk itu punya bau petrichor?" Bibir laki-laki itu mengerut sedikit. Sedikit beruntung punya teman seperti Randi. Setidaknya ada seseorang yang tak lelah terus-menerus membalas ucapan April. "Ya, kali aja itu kamu. Kalau aku tentu ngerasa kayak lagi tenggelam."

"Cara selamatnya gimana?" April pura-pura berpikir, mengetuk dagunya dengan gerakan konstan. "Kamu pake serpihan kapal Titanic buat ngapung?"

Zhafira Freya kadang juga merasa heran. Mengapa bisa pembicaraan kedua orang ini melompat-lompat sembarangan? Namun, ia tersenyum saja. Hiburan memang selalu dibutuhkan di sela-sela waktu yang sempit ini.

Randi Gunadhya mendesah frustrasi. Ia mengacak rambutnya yang sedikit panjang sebentar, seolah mengaku kalah. April tersenyum bangga, memang seharusnya perempuan yang memenangkan perdebatan.

Forever Hours [ completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang