Orang bilang, lebih baik mencari yang baru daripada menunggu. Namun, apakah orang baru menjamin akan lebih baik dari yang ditunggu?
***
Awal Oktober, 2021.
"Iya, Bunda." Bibirnya melengkung tipis, lalu menguarkan tawa lirih.
Kaki berbalut celana capri panjang kecoklatan itu melangkah pelan di atas bahu jalan dengan tangan sibuk menahan benda persegi ke telinganya. Trotoar itu memanjang, sedikit berkelok berwarna keabu-abuan. Setiap sepuluh langkah sekali, ada pohon mahoni berdaun lebat yang menaungi setiap langkahnya. Membuat siang yang agak terik itu berubah sedikit sejuk.
Sesekali, dedaunan coklat keemasan menghambur jatuh ke arahnya. Menghias senyum tulus Fira yang mendengar seseorang di seberang sana berceloteh ria. "Fira juga rindu, Bunda. Apalagi rendang. Uhh! Pengen pulang jadinya."
Lucunya. Gadis itu masih merindukan bundanya padahal kemarin baru saja berpeluk sayang.
Tetap saja. Untuk orangtua sendiri tak ada yang melarang ingin merindu berapa lama. Apalagi Fira adalah anak satu-satunya. Rumah bundanya pasti akan sangat sepi. Apalagi lokasi rumah yang tak bisa dibilang dekat, membuat Fira kesusahan kalau-kalau nanti rindu mendekapnya. Untung saja sang bunda peka-beberapa waktu sekali datang ke asramanya-meskipun sebulan terakhir mereka sempat tak bertemu. Entah apa yang terjadi, Fira tak tahu. Mereka hanya berhubungan lewat panggilan saja waktu itu.
"Oke, Bunda. Jaga kesehatan, ya." Lagi ia tersenyum bahagia. Seolah kebahagian hanya berpusat pada suara yang hampir menua itu.
Tak lama setelahnya, gadis itu tertawa kecil lagi mendengar ucapan di seberang sana. Sebelum akhirnya memutus panggilan dengan wajah yang masih mematri senyum lembut menatap ponsel di genggaman.
Manik kecoklatan itu berbinar menatap ponsel dengan layar gelap itu. Fira hendak menempatkannya di antara tumpukan buku yang ia peluk di tangan kanan. Akan tetapi, dering nyaring membuatnya urung. Ia menatap layarnya sebentar, menekan icon hijau, lantas mendekatkan kembali ke telinga.
"Astaga, Fira!" pekik suara di ujung sana. Gadis itu sampai harus menjauhkan ponselnya sebentar-merasa pengang. "Aku daritadi nelponin kamu terus, loh. Sibuukkk ajaaa. Kamu nelpon siapa, sih?" April terdengar gemas dan kesal dalam satu waktu. Fira tahu siapa yang ada di kepala sahabatnya itu.
Fira menghela napas pelan, lanjut menambah langkah. "Tadi telponan sama Bunda."
"Oohhhh ...." Fira bisa mendengar lenguhan panjang dari seberang sana. April sepertinya lega. "Tadi jadi, kan?"
Fira menurunkan laju langkahnya begitu melihat jembatan putih terpatri sederhana melintasi sebuah aliran air dangkal. Kemudian, ia disambut dengan pohon Bintaro dengan daun yang sebagiannya berwarna kemerahan-hendak berguguran. Juga ada buah yang hijaunya benar-benar memanjakan mata. "Jadi, kok. Aku udah di sini."
"Bener kamu udah di sana? Haaaahh ...." April melenguh lagi, terdengar frustrasi. "Tungguin aku, ya, Ra. Ini katanya si dosen bakal balik, tapi enggak balik juga. Huweee ...."
Fira tersenyum tipis, walau tahu tak dapat dilihat. Beberapa langkah, bangunan full terbuat dari kayu berwarna putih susu dan kaca yang langsung menembus suasana di dalam membuat matanya berbinar sejenak. Ia memaku diri tak seberapa jauh dari pintu masuk yang sepenuhnya kaca tembus pandang itu. "Iya. Aku-aw!"
"Raa ...."
Suara di seberang sana terdengar khawatir, tetapi Fira tak mengacuhkan. Seseorang menabrak bahunya. Entah sengaja atau tidak, ia tak mengerti. Yang paling mengerikan, orang itu seperti seorang pria yang tentu saja membuat nyeri di bahu kanan Fira. Apalagi dengan beban buku di pelukannya. Lengkap sudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Hours [ completed ]
RomansaZhafira Freya pikir hubungannya yang berjalan terlalu mulus dengan Arya Alvaro adalah sebuah kabar baik. Nyatanya, hubungan jarak jauh adalah jatuh yang paling cocok untuk mereka. Tanpa panggilan masuk, tanpa panggilan keluar, atau pun pesan yang se...