Juni, 2022.
Jemari di genggaman tangan itu terasa dingin dan bergetar. Lorong panjang yang kebanyakan terbuat dari kaca tebal, nyatanya malah membubuhkan terlampau banyak kegelisahan dan gugup di satu waktu yang singkat. Arya Alvaro tahu sendiri, tindakannya untuk kembali ke London terburu-buru bukanlah hal yang pasti akan berakhir baik. Namun, menunda waktu lebih banyak lagi bukan berarti akan menunda hal-hal buruk lainnya.
Langkah seseorang di belakangnya berhenti mengayun, mau tak mau memaksa laki-laki itu juga menghentikan langkah. Mereka hanya tinggal sedikit lagi saja, terhalang sebuah pintu kaca, menjemput restu semesta katanya. Akan tetapi, begitu tumitnya berbalik menghadap gadis berkucir itu, Arya merasa kalau kalut sedang membaur bersama dinginnya gugup yang semakin tak keruan saja.
Zhafira Freya berdiri memaku di tempat, bahunya merosot sedikit, sepasang mata bermanik kecokelatan itu juga sedang memancarkan binar ketidakpercayaan diri dan takut. Arya memangkas sedikit jarak, kedua tangan gadisnya digenggam lebih erat. Kalau dibandingkan, memang suhu tangan mereka sama-sama rendah. Namun, Arya hanya ingin menyalurkan ketenangan lebih banyak pada Fira yang baru pertama bertemu dengan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu tak cukup punya banyak nyali menghadapi amarah sang ayah yang mungkin akan menghancurkan kantor.
"Semuanya bakal berakhir baik. Kamu tau itu, kan, Ra?"
Jedanya agak lama. Sepasang mata berbinar sedikit redup itu seperti sedang mencari-cari entah apa di mata kekasihnya. Derap-derap langkah samar dan dengung orang yang berbicara menodai sedikit saja. Fira mengangguk, kaku dan takut-takut.
Derap-derap langkah terdengar mendekat. Kedua insan itu menoleh dan mendapati sepasang manusia lainnya yang sudah berdiri di dekat mereka sembari saling menggenggam. Air mukanya bahkan hampir sama seperti Arya dan Fira.
"Tunggu di sini. Sebentar aja, ya. Kalau udah waktunya, kalian bisa masuk." Begitu ucap Arya ketika tangannya terulur mengusap pipi sang kekasih. Lembut, sedikit lama. Ada macam-macam asa yang berpendar melalui maniknya yang kelam dan dalam.
Laki-laki itu tersenyum tipis ketika tangannya ditarik menjauh, saling berisyarat pada Laura untuk melewati pintu kaca berhendel aluminium. Tersisa Fira dan laki-laki yang ia kira adalah kekasihnya Laura. Sama-sama menunggu dengan berselimut resah.
Pintu kaca berdenging lembut. Arya pikir, hanya akan ada ayahnya di sana. Namun, ternyata juga ada ayahnya Laura yang duduk di sofa panjang berwarna cokelat tua itu. Kebetulan yang tidak begitu disangka.
"Arya? Secepat ini kamu kembali?" Bersama tanya yang mengudara, dua pasang mata menatap sama keheranan. Anthony hampir berdiri, tetapi Arya lebih dulu menahan dengan isyarat.
Laki-laki muda itu tahu akan sedingin apa ruangan familier milik ayahnya akan terasa. Namun, kali ini, rasanya lebih membuat nyeri. Benar saja. Ketika melihat pada Andra, Arya sudah lebih dulu dihujam tatapan sinis dan dingin.
"Apa kamu tidak menemukan apa yang kamu cari di sana, makanya kamu kembali secepat ini?"
"Kenapa kamu nggak bilang kalau sudah di London?" Anthony tampaknya tak menghiraukan tanya aneh yang terlontar dari rekan bisnisnya, ia lebih terpaku pada sang putri yang tiba-tiba sudah berada di samping Arya. Berdiri dengan air muka sama kaku. "Papa bisa jemput kamu. Ada masalah, Nak?"
Arya dan Laura saling bertatap singkat. Saling meyakinkan untuk melakukan semua ide-ide yang telah mereka susun jauh hari. Memang tidak terlalu matang, tetapi lebih baik dari pada tidak dijalankan. Ayah Laura lantas mengisyaratkan agar sepasang manusia itu untuk duduk di sofa juga. Anthony berpindah ke sisi Andra, Arya dan Laura yang sekarang duduk di sofa paling panjang. Yang tua saling berhadapan dengan yang muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Hours [ completed ]
RomanceZhafira Freya pikir hubungannya yang berjalan terlalu mulus dengan Arya Alvaro adalah sebuah kabar baik. Nyatanya, hubungan jarak jauh adalah jatuh yang paling cocok untuk mereka. Tanpa panggilan masuk, tanpa panggilan keluar, atau pun pesan yang se...