Chapter 30

1.6K 124 2
                                    

Happy Reading ^^


Hanin tersenyum senang ketika melihat sebuah panggilan masuk ke ponselnya, Bian Calling..

"Hallo-" belum sempat Hanin mengucapkan apapun suara Bian terdengar bergetar dari ujung sana.

"Ada apa Bi? Kamu kenapa?" tanya Hanin mulai panik.

Hanin memang lebih sensitif akhir-akhir ini, maklum tinggal menunggu satu hari lagi mereka akan mengadakan acara pertunangan.

"Ibu Carrol meninggal." Ucapan Bian disana membuat Hanin membeku untuk sesaat.

Pertanda apa ini?

***

Bersama orang tuanya Hanin langsung datang ke rumah duka. Disana sangat ramai para pelayat dan Hanin memandang kesana. Bian yang sedang memeluk Carrol yang masih menangis.

Hanin menguatkan hatinya, tidak dia tidak boleh merasa cemburu di situasi saat ini.

"Hanin!" Ayya memanggilnya dengan lembut.

"Eh kak Ayya," ucap Hanin sambil menyeka matanya yang sedikit basah.

Hanin melihat ke sekeliling dan syukurlah orang tuanya sedang bersama orang tua Bian.

"Kamu sama siapa kesini?" tanya Ayya.

"Sama ayah dan mama kak," jawab Hanin.

"Duduk disana yuk Nin." Ajak Ayya dan membawa Hanin ke sebuah sudut rumah itu.

"Aku belum nemuin dokter Carrol kak," ucap Hanin ketika mereka telah duduk di tempat yang tidak terlalu banyak orang.

"Nanti aja Nin. Dia masih syok dan belum bisa berkomunikasi dengan orang lain. Dari tadi nempelnya sama Bian aja," ucap Ayya.

Hanin terus merapalkan dalam hatinya bahwa dia baik-baik saja. Hanin mencoba untuk memahami Carrol yang sedang berduka.

"Nin kamu baik-baik aja kan?" tanya Ayya yang menyadari perubahan wajah Hanin.

"Hah? Aku baik-baik aja kok kak," jawab Hanin sambil tersenyum.

"Aku mengerti perasaan dokter Carrol. Lagipula mereka sudah bersahabat sejak lama," lanjut Hanin yang menyadari bahwa Ayya masih tidak percaya dengan ucapannya.

"Nin kakak ke depan dulu ya. Mas Adrian katanya udah sampai," ucap Ayya sambil mengecek ponselnya.

"Oke kak. Aku disini aja gak papa," ucap Hanin.

Sepeninggalnya Ayya, Hanin hanya mengamati setiap orang disini. Dan pandangannya tertuju pada Bian yang masih memeluk Carrol. Tiba-tiba Bian melihat ke arahnya dan tersenyum, Hanin pun membalas senyuman Bian.

"Beruntungnya dokter Carrol memiliki pasangan seperti dokter Bian ya." Tiba-tiba Hanin mendengar pembicaraan beberapa wanita yang tak jauh dari tempat duduknya.

Hanin memperhatikan mereka dan sepertinya bukan staff rumah sakit.

"Keluarga mereka sama-sama konglomerat, cocok banget sih mereka," lanjut perempuan yang satunya lagi.

Tidak ingin berlama-lama mendengar pembicaraan seperti itu, Hanin pun melangkahkan kakinya untuk meninggalkan mereka. Dia menggerutu bahwa bisa-bisanya para wanita itu bergosip di pemakaman orang lain.

***

Setelah selesai pemakaman, Hanin membiarkan orang tuanya untuk pulang tapi tidak dengannya. Dia mendapat pesan dari Bian untuk menunggunya.

Hanin berdiri di dekat gerbang komplek pemakaman dan memperhatikan satu persatu orang-orang yang meninggalkan area makam.

"Sayang." Ucapan seseorang dibelakangnya membuat Hanin langsung menoleh.

"Aku kangen banget sama kamu," ucap Bian dan langsung memeluk Hanin.

Wangi di tubuh Bian langsung mengingatkan Hanin pada seseorang, dengan segera ia melepaskan pelukannya.

"Kenapa Nin?" tanya Bian dengan pandangan aneh.

"Gak enak masih banyak orang," ucap Hanin beralasan. Bian pun hanya mengangguk.

"Aku sebenarnya masih ingin melihat kamu, tapi aku harus kembali lagi ke rumah Carrol," ucap Bian sambil menggenggam tangan Hanin.

Hanin mengerutkan alisnya.

"Kamu gak papa kan pulang sendiri?" tanya Bian.

"Iya gak papa," jawab Hanin.

Tanpa mengucapkan apapun lagi Hanin berbalik meninggalkan Bian.

"Kamu kemana?" tanya Bian menahan langkah Hanin.

"Pulang." Singkat Hanin.

"Sebentar aja." Mohon Bian.

"Aku masih ingin bersama kamu. 5 menit lagi." Pinta Bian kembali.

"Bi kamu mendingan segera ke rumah Carrol. Dia lagi butuh kamu kan? Jangan buang-buang waktu kamu disini," ucap Hanin sambil melepaskan tangan Bian dari tangannya.

"Nin ..." ucapan Bian terhenti karena Hanin menyetop taksi yang kebetulan melalui area pemakaman itu.

"Aku pergi Bi," ucap Hanin dan membuka pintu taksi.

"Hati-hati," ucap Bian pelan dan masih terdengar oleh Hanin.

Setelah taksi melaju meninggalkan area pemakaman ia menumpahkan tangisnya.

Entahlah Hanin tidak tahu harus bagaimana dengan perasaannya sekarang. Bolehkan dia egois? Dia tidak ingin lelakinya bersama dengan wanita lain sekalipun itu sahabatnya.

***

Setelah pulang dari makam Hanin hanya bisa merenung sendiri di dalam kamarnya. Dia ragu bahwa dia harus melanjutkan acara pertunangan mereka. Hujan turun dan Hanin beranjak mendekat ke arah jendela. Memandang tanah yang mulai basah, dan daun yang mulai meneteskan air.

Tok ... Tok ... Tok ...

Lamunannya terhenti ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Hanin pun berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Rupanya sang mama yang datang.

"Kamu baik-baik aja?" tanya mama begitu melihat kondisi Hanin yang sedikit berantakan.

"Hanin hanya lelah aja Ma akhir-akhir ini," ucap Hanin dan duduk di pinggiran kasur diikuti mama.

"Kalau Mama menyampaikan sebuah berita yang kurang baik hari ini, apa boleh?" tanya mama hati-hati.

Hanin menganggukkan kepala nya. Dia berpikir, toh hari ini sudah cukup buruk untuk dirinya. Tak apa jika ditambah dengan hal buruk lainnya.

"Tadi ayah sama Mama bicara dengan orang tua Bian. Kami setuju untuk menunda terlebih dahulu acara pertunangan kalian," ucapan mama nya membuat Hanin tercenung. Baiklah ini hari yang luar biasa.

"Kenapa Ma?" tanya Hanin, walaupun dalam hatinya ia sudah menerka apa yang terjadi.

"Kamu tahu kan betapa dekatnya Carrol dengan Bian? Dia baru saja kehilangan ibunya dan rasanya tidak afdhol jika kita menggelar sebuah acara."

Hanin menghela napasnya pelan. Kenapa hidupnya harus terlibat dengan permasalahan perempuan itu? Tidak! Bukannya Hanin tidak bersimpati, ia hanya lelah jika hubungannya ada dalam bayang-bayang perempuan lain.

"Ma aku ingin istirahat, sebentar aja," ucap Hanin dan menaikkan badannya ke ranjang.

"Baiklah. Apapun yang ada dalam pikiranmu kamu harus katakan pada Mama ya Nin. Jangan menahannya seorang diri," ucap Mama dan menyelimuti Hanin.

Hanin hanya mengangguk dengan mata terpejam.

Setelah terdengar bunyi pintu yang ditutup, Hanin membuka matanya kembali. Butiran air bening itu kembali menghiasi wajahnya. Hanin mengambil ponselnya berharap ada pesan dari Bian. Tapi nihil. Pria itu sama sekali tidak menghubunginya.

Ia tertawa sumbang, apakah harus pria itu melakukan ini padanya?

***

Rencana [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang