Suara benda besi yang digesekkan terdengar di belakang Caroline, membuat gadis itu menolehkan kepalanya. Samar-samar matanya menangkap keberadaan sosok lain di sini.
Wah, gak bener, nih!
"Devian," panggil Caroline agak keras. Sontak langkah lima laki-laki tampan di depannya itu terhenti. Jelas saja, suara Caroline yang sedikit gemetar tentu membuat kelimanya khawatir.
Devian menoleh dengan alis bertaut. "Kenapa?"
"Ada yang ngikutin."
"Ah, beb Caro jangan bercanda, ya? Gue udah ketar-ketir, nih, daritadi," sahut Erik memberengut.
"Ngapain gue bercanda? Liat belakang gue, ada bayangan!"
Kelima laki-laki itu lantas memerhatikan bayangan hitam di belakang Caroline dan Lucy. Dan benar, entah siapapun di sana, tapi satu yang pasti, apa yang dikatakan Caroline itu benar. Mereka diikuti.
Devian melangkahkan kaki mendekat ke arah Caroline untuk melihat lebih jelas. Di dekat pintu masuk, terlihat seseorang sedang mendekat dengan cangkul yang diseret.
"Yan, kabur aja, yuk," ajak Felix yang sudah merinding. Masalahnya sekarang dia sama Freedy berdiri paling belakang. Kan, tidak lucu kalau tahu-tahu di belakangnya juga ada sosok lain!
"Ganteng doang tapi penakut," komentar Freedy yang mengikuti gaya bicara Aaron sebelumnya.
Devian menghiraukan ajakan Felix, laki-laki itu lebih memilih memfokuskan pandangannya pada bayangan hitam di depan sana. Karena rasa penasaran yang kuat, Devian mengangkat tangannya, berniat mengarahkan senter hpnya ke sosok itu.
Namun, gerakannya terhenti, Caroline menarik pelan ujung seragam putih yang dikenakan laki-laki itu. "Gak usah di senter, tuh empat temen lo takut."
Devian menurunkan kembali tangannya. Menunggu datangnya sosok yang membawa cangkul itu menghampiri lebih dulu.
Devian berani, soalnya dia tahu, ini genre ceritanya teenfic, lain horror!
Keempat laki-laki di sana sontak mendekatkan diri ke arah Devian, Caroline, dan Lucy saat samar-samar bayangan itu mulai mendekati titik cahaya—sinar matahari dari celah dinding—di dekat mereka.
Beberapa langkah lagi, mereka akan tahu, sosok itu manusia atau bukan.
Tiga langkah lagi.
Dua langkah lagi.
Satu langkah lagi. Dan ....
"DAMN IT, GUE KIRA SIAPA!"
"SIAL. SIAL. SIAL. STUPID BANGET GUE TAKUT MA BEGINIAN!"
"Shit, bikin panik aja!"
Teriak Felix, Erik dan Aaron bersamaan saat mengetahui siapa sosok itu. Sementara, Devian dan Lucy mendengkus kesal sambil menatap tajam sosok di depan mereka. Caroline? Dia cuma plonga-plongo saja, memerhatikan satu-satu ekspresi temen-temennya yang beragam itu.
Bagaimana, ya, Caroline, kan, masih baru di sini, jadi tidak mengerti apa-apa. Lagian, seseorang yang berdiri di depannya itu laki-laki yang nampak seumuran guru honorer. Yang bikin bingung cuma satu, tuh, cangkul yang diseret untuk apa? Mana bajunya kegedean gitu.
Opini Caroline yang mengira pria di depannya itu adalah seorang guru, kandas tiba-tiba, belum lagi mengingat satu fakta, bahwa SMA Cogan dipenuhi dengan om-om tua berwajah muda.
Pria di depan ketujuh orang itu tersenyum tipis. Tangannya yang tidak memegang apa-apa ia arahkan ke Caroline, membuat sang empu kebingungan.
Apaan, sih?
"Lolos seleksi, ya?" tanya pria itu sambil menyengir, menampilkan dua gigi depannya yang ompong.
Caroline bergidik, ia menduga pria di depannya itu bukan guru atau apa. Entahlah, perasaannya mendadak tidak enak. "Siapa?" tanya Caroline pelan.
"Aki-aki tukang kebun yang gue bilang waktu di kantin itu, Ro, inget gak lo?" balas Lucy berbisik.
Ah, Caroline inget. Jadi, memang benar awet muda, yah?
"Aki Tono namanya," kata Lucy membuat Caroline menghela napas.
"Beb Caro kalo di deketin sama tuh aki-aki, jangan mau, modusan parah!" kata Erik sambil geleng-geleng.
"Kok malah diskusi toh ini? Aku nanya lohh," kata pria itu mengalihkan pandangan ketujuh anak muda di sana.
Caroline segera menjawab, "Seleksi apa? Masuk sini? Saya diterima setelah menyerahkan berkas-berkas sama fotokopi sertifikat penghargaan."
"Wah, bener-bener kayak Lucy, ya," kata pria itu lagi.
"Maaf?"
"Gak usah ladenin, Ro. Nanti kebiasaan gangguin lo."
Caroline mengernyit, tidak paham. Walau merasa aneh oleh Tono, tetap saja pria tua itu hanyalah seorang kakek-kakek. Caroline tidak tega jika ingin bersikap cuek dan tidak acuh.
Tono yang hendak berbicara kembali, tidak jadi saat suara Felix menghentikan niatnya. "Udah, ya, Ki, kita mau lanjut uji jantung, Aki jangan modus, lah, sama beb Caro, udah punya Felix," kata cowok itu.
"Dih, ngaku-ngaku, beb Caro punya gue!" bantah Erik seraya menarik tangan Caroline mendekat ke arahnya.
Caroline jelas saja kaget, gadis itu menyentak tangan Erik, berbalik badan dan menatap penuh permusuhan ke arah laki-laki itu. "Mau gue patahin, tuh, tangan?!" tanyanya galak.
Erik tercengir seraya menggeleng. "Enggak, tadi reflek."
"Patahin aja beb Caro, enak aja mau main nyosor!" kompor Felix yang dihadiahi pelototan tajam dari Caroline. "Diem atau kepala lo yang gue patahin!"
"Wow, galak, ya," ucap Tono seraya terkekeh, cara tertawanya saja memang sudah seperti seorang kakek-kakek.
"Udah, ya, Ki, kita mau lanjut," pamit Aaron mewakili yang lain. Setelah mendapat anggukan, ketujuh orang di sana segera berlalu dari hadapan Tono.
"Ro, mulai besok hidup lo bakal gak tenang," ucap Lucy membuat kening Caroline mengerut samar. "Gak tenang gimana? Dari masuk sini, hidup gue udah repot."
"Ck, lo, ah. Jadi, tuh, aki-aki bakal modusin lo mulu. Sekarang enggak, soalnya ada Devian sama yang lain. Besok-besok kalo lo ketemu dia sendirian, asli, semua gombalan receh dilontarkan!"
Caroline memijit pelan keningnya, rasanya semua yang ada di sekitar gadis itu berputar-putar menjadi satu.
Buset dah, ni sekolah atau apaan, sih?!
***
kindly vote and comment!😩💝
KAMU SEDANG MEMBACA
SMA Cogan
Teen FictionIni kisah tentang seorang gadis yang hidupnya dikelilingi para cogan berbeda sifat. Sayangnya, ini bukan cerita gadis polos incaran para cogan. Bukan juga cerita cewek lugu yang terjebak diantara cogan-cogan. Caroline bukan seperti itu. Dia, beda da...