Caroline bersama Lucy kini tengah duduk di kursi taman belakang SMA Cogan. Gedung tua di belakang keduanya tampak senyap, tidak terdengar aktivitas apapun dari dalam bangunan. Sepertinya aki Tono juga tidak sedang berada di gudang, pria itu memang diberi tugas untuk keluar-masuk gudang setiap harinya agar tempat tersebut tidak menjadi tongkrongan murid-murid nakal.
Tumbler berisi coklat hangat itu digenggam Caroline erat-erat. Cuaca hari ini tidak terik, tidak juga mendung, melainkan berawan. Angin sepoi-sepoi yang menyejukkan tapi sesekali bertiup kencang membuat tubuh Caroline sedikit meremang.
"Balik kelas, yuk. Bentar lagi bel," ucap Lucy seraya beranjak bangkit dari duduknya.
Caroline mengangguk pelan. Ia ikut bangkit dan meregangkan tubuhnya sejenak. Sekilas dari bayangan mata, Caroline dapat melihat seseorang tengah berlari kencang masuk ke dalam gudang. Gadis itu terhenti dari aktivitasnya, ia memfokuskan seluruh atensinya pada bangunan tua di hadapannya yang hanya berjarak kisaran 7 meter.
"Lucy," panggil Caroline membuat sang empunya nama menoleh. "Kenapa, Ro?"
"Lo duluan aja, ya. Gue—"
"Lo ada something you want to do?"
"Iya—"
"Perlu apa?"
"Mau nelpon temen. Kalo di kelas berisik banget, takut nggak fokus ke percakapan nanti gue sama temen gue, Cy."
Lucy menghela napas. "Ya, udah. Lo cepetan nyusul tapi, ya. Jangan lama-lama di sini sendirian. Aki Tono juga udah selesai ngelaksanain harian rutin ceknya ke gudang, jadi kalo ada sesuatu yang aneh langsung balik dan nggak perlu kepo."
"Ookay, thanks, Cy."
Caroline melambai pelan pada Lucy yang berjalan menjauh, hingga perawakannya hilang ditelan belokan koridor. Setelah memastikan beberapa detik kalau Lucy tidak kembali menghampirinya, Caroline segera beranjak menuju gudang. Gadis itu sama sekali tidak tenang melihat seseorang yang terlihat di bayangan mata masuk ke dalam gudang, ia perlu memastikannya sendiri. Sosok itu siapa, dan kenapa harus berlari kencang seperti tadi.
Rasa ingin tahu Caroline memang di atas rasa takutnya. Tidak heran gadis itu nekat masuk ke dalam gudang seorang diri.
Bahkan, ketika Caroline sudah tahu sosok serba hitam yang menjadi alasannya kembali berlatih bela diri bersama Reina dan Reano, gadis itu tetap saja gelisah jika tidak sengaja netranya menangkap seseorang bertingkah atau sesuatu terlihat aneh.
Caroline masuk ke dalam gudang dengan mengendap. Hal pertama yang ditangkap indera pendengarannya adalah suara seseorang seperti memukul sesuatu, ketika terdengar ringisan kesakitan, Caroline menyimpulkan ada dua orang dibalik bilik di hadapannya itu tengah berkelahi.
Gadis itu mengintip sedikit ke ruang sebelah melalui dinding pemisah. Seorang laki-laki berseragam sama sepertinya terlihat membelakangi sambil terus melayangkan pukulan-pukulan pada satu laki-laki lain yang sudah berbaring lemah tidak berdaya.
Ada jeda yang diambil laki-laki yang memberikan pukulan-pukulan tadi, laki-laki itu terlihat menghela napas panjang seraya menyisir rambut depannya yang menurun karena basah terkena peluh keringat. Ia terduduk menyampingi dinding pemisah di mana Caroline bersembunyi.
Caroline sontak membulatkan matanya saat mengetahui siapa laki-laki itu.
Laki-laki itu kembali mengambil posisi dan menyerang laki-laki yang sudah hampir sekarat itu.
"DEVIAN!"
"UDAH, WOI! LO MAU BIKIN DIA MATI?!" teriak Felix seraya menahan pergerakan tubuh Devian. Ia masuk melalui pintu samping gudang, bersama dengan Aaron, Erik dan Freedy. Keempatnya tersengal karena berlari menyusul Devian. Kini mereka juga bersama-sama menahan Devian yang kehilangan kendali atas emosinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMA Cogan
Teen FictionIni kisah tentang seorang gadis yang hidupnya dikelilingi para cogan berbeda sifat. Sayangnya, ini bukan cerita gadis polos incaran para cogan. Bukan juga cerita cewek lugu yang terjebak diantara cogan-cogan. Caroline bukan seperti itu. Dia, beda da...