Jika dirimu tidak bisa menjadi tanah yang selalu disakiti tapi mampu untuk tetap memberi kehidupan bagi yang menyakitinya, setidaknya jadilah akar! Tidak terlihat tapi punya banyak manfaat :)
Happy Reading🐾
Mata Abrisam mengerjap, pertama yang dia lihat adalah ruangan bernuansa putih dan bau obat-obatan yang sangat menyengat, menusuk indra penciumannya. Apakah Abrisam berada di rumah sakit? Cowok itu mengangkat kepala untuk memastikan, tapi nihil. Kepalanya seolah tertindih bebatuan besar.
Pintu ruangan yang ditempati Abrisam terbuka, menampakkan pria jakung berkulit sawo matang. Kehadiran sang ayah membuat A tersenyum senang, itu pertanda bahwa Dion peduli terhadapnya. Namun, dugaan itu salah besar.
"Merepotkan!" ketus Dion menatap tajam ke arah sang putra.
Senyuman indah yang tadi menghiasi wajah Abrisam perlahan pudar, berubah menjadi senyum kecut untuk menguatkan dirinya sendiri. Sekarang keyakinan bahwa dia memang tidak mempunyai siapapun di dunia ini, menjadi benar. Semua orang memang tidak akan pernah peduli kepada A, bahkan ketika cowok itu mati, mungkin seluruh dunia akan tertawa.
"Kenapa Ayah harus datang kalau memang A cuma merepotkan Ayah? A bisa melakukan semua ini sendiri, kok. Biasanya juga gitu." Sebelumnya, Abrisam tidak pernah mengucap lebih dari tiga kata untuk sang ayah. Mungkin rasa kecewa dan lelah dalam dirinya sudah melampaui batas, sehingga A haus penjelasan.
"Jangan ge-er kamu. Saya datang kesini hanya karena pihak sekolah menelfon!" tegas Dion, laki-laki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan anaknya terbaring lemas di atas brankar rumah sakit sendirian.
Abrisam mengepalkan tangannya yang terdapat suntikan infus dengan menahan amarah. Mengucapkan istigfar dalam hati sambil memejamkan mata. Batinnya menangis, tapi tubuh ini tak boleh rapuh dan harus selalu kuat. Kenapa Ya Allah, kenapa Engkau tidak mencabut nyawa hamba saja? Hamba lelah, kenapa hamba harus berbeda dengan manusia lainnya?
"Gitu amat nasib lo, Bro?"
Abrisam tersentak saat mendengar suara tersebut. Sosok cowok yang tingginya sama dengan dirinya mendekat. Cowok itu masih lengkap dengan pakaian rumah sakit. Dia terlihat tampan, tapi kulitnya sangat pucat.
Tiba-tiba saja, dia menyurahkan isi hatinya tanpa perintah dari siapapun. "Waktu gue masih hidup dulu, abah dan ummi sayang banget sama gue. Karena penyakit ini muncul, orang tua gue jadi menderita. Ahirnya gue sadar, bahwa gue cuma benalu di hidup mereka. Hingga gue memilih untuk pergi, apa gunanya bertahan kalau cuma menyusahkan. Tapi, sangat disayangkan bahwa semua yang gue fikirkan itu salah, ternyata mereka rela melakukan apapun asal gue sembuh. Gue udah mengecewakan pengorbanan mereka." Dengan sedikit isakan di sela ucapannya.
"Beruntung ya, semua orang di dunia ini mendapatkan kasih sayang seutuhnya dari orang tua mereka. Tapi gue, apa yang gue punya? Bahkan mereka aja nggak peduli dengan kehidupan gue." Semakin lama nada bicara Abrisam semakin melemah. Inilah yang dia benci, titik kerapuhan itu mulai muncul dalam dirinya.
"Setidaknya lo masih hidup di dunia ini. Lakukan apapun yang lo inginkan, tunjukkan pada mereka bahwa lo mampu! Karena setelah lo mati, lo nggak bakalan bisa melakukan hal itu. Gue contohnya." ucap sosok cowok itu lagi.
Dia bukanlah manusia, dan ini yang sangat Abrisam suka. Jika tidak ada satu pun manusia yang mau menemaninya, setidaknya ada mahkluk lain yang mampu memberikan Abrisam kekuatan dan semangat untuk bertahan hidup. Rasa kesepian itu menghilang, Abrisam kembali menanamkan kekuatan pada hatinya. Dia tidak sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'am Not ALONE || TERBIT ✅
Подростковая литератураAbrisam Abdar Aabid, remaja laki-laki tangguh sebagai pasien termuda di rumah sakit yang menderita penyakit tersebut. Hidupnya berada di ambang kematian, dan hanya obat-obatan yang selalu menemani. Tentu bukan hal yang mudah bagi dia melawan kangker...