Setiap luka pasti ada obatnya. Namun, apakah mungkin luka itu bisa sembuh bila yang menyebabkan adalah orang tua kita?
Happy Reading 🐾
Plaak...
Panas dan perih, rasanya bercampur menjadi satu. Namun, rasa paling sakit ada dalam hati, di sana terdapat luka yang rasanya jauh lebih sakit daripada bekas memerah pada pipinya.
Satu. Cowok pemilik tahi lalat di dagu itu mulai menghitung dalam hati. Pesan dari guru mengajinya kembali menggema di telinga.
Kalau ada orang yang menyakitimu, berhitunglah! Jika sampai hitungan ke tiga orang itu melakukan hal yang sama, maka kau harus menegasi! Itupun jika memang dirimu benar.
"BODOH! Anak nggak tau malu, jam segini baru pulang. Ngapain aja kamu?" teriak Dion, sang ayah.
Dua. Cowok itu masih diam dan melanjutkan hitungannya. Dia hanya bisa menunduk dalam, tanpa ingin membalas apapun.
"Ngurusin anak kayak dia cuma buang-buang waktu, Mas. Makanya biarin aja!" sindir Vina, istri Dion, dari arah kamar yang berada di lantai atas.
Tiga. Ini sudah biasa. Remaja laki-laki itu tidak ingin membantah, walaupun kedua orang tuanya sudah melewati batas. Dia mendongak, membalas tatapan tajam dari Dion dengan senyuman. "Sudah?"
"BENAR-BENAR ANAK NGGAK TAU MALU!" Dion mengangkat tinggi tangan kanan, bersiap melayangkan pukulan kepada cowok berumur 17 tahun di hadapannya ini.
Namun, sesuatu berhasil menghentikan niatnya. Entah ada apa, pria bernama Dion itu tiba-tiba berlari terbirit-birit meninggalkan sang anak. Seakan sangat ketakutan. Dengan tak acuh, cowok bertahi lalat di dagu itu berbalik dan melangkah menuju kamar.
Perkenalkan, dia adalah Abrisam Abdar Aabid. Biasa dipanggil Abrisam atau A. Cowok dengan paras berantakan, rambut tebal menutupi sebagian dahi, kulit sawo matang, juga muka yang terbilang pas-pasan itu membanting tubuh lelahnya di ranjang. Menatap kosong langit-langit kamar yang terdapat sarang laba-laba karena sudah lama tak dibersihkan.
"Setidaknya gue masih hidup hari ini," gumamnya.
Sebenarnya Abrisam adalah pemuda yang tampan, karena cowok ini sangat malas jika berurusan dengan kebersihan, maka munculah sikap berantakan di dalam kepribadiannya.
"Woi, A kubik!" Suara cempreng itu lagi. Heran, kenapa makhluk itu selalu saja mengganggu ketenangan Abrisam? Pikirnya.
Cowok itu melirik jam dinding yang berada di tembok kamarnya. Pukul dua belas lewat sepuluh malam. Pantas saja si pengganggu muncul.
"A kenapa, sih?"
Saat sosok gadis kecil itu mendekat, Abrisam menutup wajahnya menggunakan bantal. Berniat untuk mengacuhkan suara cempreng si gadis.
"Mending lo pergi, nggak usah ganggu gue lagi!" usir Abrisam tidak terlalu jelas karena terhalang bantal.
"A main sama aku, yuk!" Tidak memperdulikan ucapan Abrisam, gadis itu malah terus saja menarik paksa tangan A.
Abrisam merubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersila di atas kasur. Menatap malas ke sosok gadis yang selalu merecoki hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'am Not ALONE || TERBIT ✅
Fiksi RemajaAbrisam Abdar Aabid, remaja laki-laki tangguh sebagai pasien termuda di rumah sakit yang menderita penyakit tersebut. Hidupnya berada di ambang kematian, dan hanya obat-obatan yang selalu menemani. Tentu bukan hal yang mudah bagi dia melawan kangker...