13.

1.3K 171 11
                                    

Komen saja cukup!

Tepat sembilan bulan kehamilan kakak perempuan Melandi, Alika. Gadis SMA itu terus memikirkan siapa Ayah dari anak tersebut, setiap dirinya bertanya pada Alika jawabannya hanyalah tamparan. Melandi memilih untuk mencari tahu sendiri tanpa melibatkan kakaknya, mungkin Alika trauma dengan masa lalu nya hingga sensitif setiap kali di tanya hal tersebut. Dan Melandi rasa, kakaknya itu juga mengalami gangguan mental.

"Stadium akhir." Melandi menitihkan air matanya, bayangan-bayangan kematian selalu menghantuinya hampir setiap malam.

"Sudah tidak ada harapan hidup ya? Dokter... Apa umurku gak bakalan lama? Aku masih pengen hidup," ucap Melandi bergetar.

"Melan, umur manusia hanya Tuhan yang tau, yang saya katakan hanyalah prediksi, jadi percaya saja sama Tuhan."

"Harusnya waktu itu kamu menerima tawaran saya untuk pengobatan lebih lanjut, tidak seperti sekarang... mungkin sudah terlambat, tapi tenang saja
Kuasa Tuhan itu ada, jangan menyerah!" Dokter itu mengusap pelan rambut Melandi.

Gadis itu menghela nafasnya pelan, mengusap air matanya dengan kasar lalu beranjak keluar dari Rumah Sakit. Bukannya Melandi menolak rezeki untuk biaya pengobatan lebih lanjut, tetapi dokter itu sedari dulu sudah membiayai Melandi, mulai dari obat dan biaya rumah sakit. Sebaik itulah keluarga Vano, terutama ayahnya.

"Melan! Anter makanan ke meja nomor empat!"

Melandi memulai aktivitasnya dan mengabaikan rasa sakit yang sering muncul tiba-tiba, dirinya tak ingin merepotkan orang lain lagi. Satu bulan terakhir ini jadwal Melandi sering kali digantikan rekan kerjanya membuat gadis itu merasa sangat merepotkan.

"Ini pesanannya, selamat menikmati." Melandi tersenyum manis kepada pelanggan.

"Melan, kamu bekerja paruh waktu?"

Gadis itu tak menyadari jika orang tersebut adalah gurunya, Bu Tea. Wanita itu datang bersama lelaki tampan yang mungkin tunangannya. Namun, ada hal lain yang membuat Melandi merasa aneh dengan Bu Tea dan tunangan. Tapi segera dia membuang pikiran itu.

"I-iya, saya bekerja di sini," jawab Melandi kikuk.

Mata Melandi menyipit ketika melihat laki-laki yang mengamati dirinya, lebih tepatnya mengamati Bu Tea dan kekasihnya. Melandi mendekat ke arah lelaki itu, bergumam pelan melihat orang yang dimaksud ternyata Vano.

"Van? Liatin siapa?" tanya Melandi, logat Jawa nya sudah menghilang seiring berjalan waktu.

"Menurut lo?" tanya lelaki itu ketus.

"Pengen gue cekik tu cowok!" Vano menatap sebal lelaki yang tengah berbincang dengan Bu Tea.

"Duduk sini, temenin gue!" ucap Vano ketika Melandi hendak beranjak pergi.

"Aku mau kerja Vano, ntar kalo gak konsisten gaji aku dipotong," jawab Melandi.

"Hm, yaudah sana!"

Vano mengambil handphone di saku celananya, menghubungi Bryan dan Arga untuk diajaknya berkencan, ralat, bertemu.

"Vano, lo ngajakin gue ghibah kan?" tebak Bryan.

"Mau ngajak diskusi," jawabnya bangga.

"Gaya lo." Arga melirik sinis sahabatnya itu.

Bryan melirik sekitar caffe itu, sampai matanya menemukan pemandangan yang menarik untuk diperbincangkan.

"Eh itu Bu Tea? Gebetan nya si Vano Muharram?"

"Haha! Pantesan Vano panas," ledek lelaki itu.

Bryan's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang