Komen.
"Gue dimana?"
"Mama, masa Bryan mimpi udah mati. Kaget banget sumpah, kaya nyata."
Geysa hanya membulatkan matanya dan menatap anak itu. Namun baru sekian detik anak tersebut menghilang entah kemana.
"Bryan...." Perempuan itu bangkit dari tidurnya dengan nafas terengah-engah.
"Bukan Bryan yang mimpi mati, tapi Mama yang mimpi kamu hidup lagi."
Geysa meraih bingkai foto disampingnya, memeluk erat seakan dia adalah Bryan, lelaki yang telah pergi.
"Iyan, udah gak mau tidur dipeluk Mama apa?"
Kamar nuansa putih itu tak ada lagi yang menempati, parfum Bryan akan sangat terasa ketika memasuki kamarnya, semua terasa anak tersebut masih ada di tempat itu. Geysa menyusuri kamar itu, mulai dari lemari pakaian sampai tempat belajar anak itu. Dirinya membuka lembar per lembar catatan sekolah anak itu, tak ada nilai dibawah angka sembilan puluh, tulisan-nya pun sangat rapi. Geysa mengabsen buku-buku harian anaknya, namun masih kosong tanpa goresan pena sedikitpun, padahal buku-buku itu lebih dari sepuluh dengan bentukan yang sama. Hanya biasa, bersampul putih dan didalamnya kertas-kertas yang kosong belum bertuliskan apa-apa.
Geysa semakin dibuat sesak dengan kertas yang terselip pada salah satu buku di halaman terakhir. Hanya kata-kata sederhana, bukan puisi, sajak, ataupun lagu, namun cukup mengoyak hatinya.
'Ga perlu ditulis, kalau kalian nganggep Bryan ada, pasti ga akan lupa sama waktu-waktu yang udah kalian jalani bareng gue'
Sederhana memang, tapi itu benar-benar membuat Geysa merasa semakin tak rela ditinggalkan anaknya. Geysa mengembalikan benda-benda itu pada tempat semula, lalu beranjak menuju balkon, tempat terakhir anak itu di rumah ini. Gitarnya masih bersender di tempat tersebut, handphone anak itu pun masih tergeletak di lantai dekat gitar.
Geysa semakin dibuat haru dengan yang dilakukan anak itu, lockscreen pada handphone Bryan adalah foto dirinya. Benda itu tak diberi kata sandi, semua wallpaper tak menggunakan fotonya sendiri, tetapi foto Geysa.
"Bryan... Mama kangen kamu."
Di aplikasi WhatsApp anak itu nomor Geysa berada di paling atas, baru pertama kali Geysa membuka handphone milik anak itu dan ternyata nomor dirinya yang Bryan sematkan, lalu dibawahnya terdapat nama Melandi. Gadis itu, Melandi terus mengirim pesan pada Bryan hingga ribuan, tak hanya itu gadis tersebut terus menelfon-nya. Geysa tak kuat lagi melihat lebih lanjut, ribuan pesan dari teman sekolah anak itu dan juga anak-anak Garuda membuat kepalanya pusing.
"Ayah!"
Perempuan itu berlari dan memeluk erat Ayah kandungnya yang tiba-tiba datang. Ini adalah pelukan pertama dari sang Ayah selama dirinya hidup. Lelaki paruh baya tersebut mengusap pelan punggung anak perempuan-nya, anak yang tak pernah ia anggap hidup.
"Ayah, putraku udah ga ada...." Geysa meluapkan semuanya, melepaskan rasa sakit yang dia rasakan karena kehilangan anak itu.
"Mbak, makan dulu sebentar, dari pagi belum makan," ucap Mbak Ayuk namun tak dihiraukan oleh Geysa.
Lelaki itu melepaskan pelukan anaknya, dan menatap penuh rasa bersalah padanya. Tak pernah sekalipun selama Bryan hidup lelaki itu sekedar menyentuhnya, tidak sama sekali. Dan penyesalan itu datang ketika Bryan sudah benar-benar tidak bisa disentuh.
"Makan dulu," ucap lelaki paruh baya itu.
Geysa merasakan dua hal sekaligus, dia senang karena ini adalah pertama kalinya sang Ayah peduli dan bahkan mau memeluknya, namun disisi lain anak yang ia besarkan pergi begitu saja. Andai bisa, Geysa ingin merasakan kebahagiaan tanpa merasakan rasa sakit karena kehilangan seorang anak.
"Mama, makan dulu!" ucap Safa.
Gadis itu membawa nampan berisi makanan ke kamar Bryan tempat Geysa berada. Safa terpaksa memasuki ruangan itu, yang ada hanyalah rasa sakit yang tertahan tanpa bisa diluapkan dengan menangis, percayalah hal ini lebih menyakitkan.
"Mama, berenti nangis."
Geysa mematung, kalimat itu adalah kalimat yang sering Bryan ucapkan. Geysa merindukan semuanya, ketika Bryan memeluknya dan meminta dirinya untuk tidak menangis, tawa anak itu, dan rengekan manja Bryan.
"Mama, coba senyum!"
"Mama cantik kalo senyum, jangan nangis! Tau kan kalo liat Mama nangis dada Bryan sakit?"
"Mama jangan ngelamun," ujar Safa menyadarkan sang Ibu.
Tak lama kemudian datang seorang lelaki paruh baya yang menenteng map berisi kertas, pakaian-nya sangat rapi, berjas dan berdasi. Safa mendekati lelaki itu, tak ada raut sedih atau apapun di balik wajah lelaki paruh baya itu.
"Kakek, kemana aja?" tanya Safa.
"Ini ramai-ramai ada apa? Wah, ada besan juga ini." Adijaya menepuk pelan pundak lelaki seusianya itu.
"Kakek bilang ramai? Padahal kita kehilangan satu orang." Safa menyahut dengan ketus dan wajah kesalnya.
Adijaya hanya diam pura-pura tak mengerti arah pembicaraan mereka. Dirinya hanya menatap Geysa yang tampak pucat dan matanya membengkak.
"Cucu yang selama ini gak Kakek anggep udah pergi." Suara Safa gemetar tapi tetap saja dia tidak bisa untuk sekedar menangis.
"Oh." Hanya itu ucapan dari Adijaya.
"Papa kemana?" tanya Geysa mengalihkan pembicaraan.
"Gak tau, Ma." Safa tersenyum samar karena ibunya sudah mau berbicara selain tentang Bryan.
~~
Hari-hari berjalan begitu saja, tak ada lagi pertengkaran antara saudara itu, tak ada lagi candaan dan kasih sayang dari seorang Bryan, dan tak ada lagi teman mengobrol di sekolah, semua tentang Bryan telah usai.
Vano menatap meja kosong itu, setiap hari penuh dengan bunga dan surat-surat entah dari siapa saja. Meja yang biasa ditempati Bryan kini tak berpenghuni, topi hitam miliknya yang tertinggal pun masih berada di tempat semula.
"Vano! Bisa dengarkan saya?" tanya Bu Gadis yang tengah menerangkan.
"Bry—" Ucapan guru itu terpotong, dirinya selalu terbawa suasana seperti biasanya ketika Vano dan Bryan selalu berulah.
"Dulu bu guru marahin saya sama Bryan terus, sekarang Bryan udah gak ada. Bu guru kangen kan sama ulah-ulah dia?" tanya Vano.
"Maaf, sudah bel pulang. Selamat sore!"
Semuanya keluar meninggalkan kelas itu, tapi tidak dengan Vano. Lelaki tersebut mengambil bunga-bunga yang berada di meja Bryan. Vano merasa berat meninggalkan kelas itu, seolah Bryan meminta ditunggu untuk pulang bersama seperti biasanya.
"Gak pulang, Bry?" tanya Vano pelan dengan menatap sayu meja tak berpenghuni itu.
"Udah pulang ya, sampai gak balik lagi," jawab Vano untuk pertanyaan-nya sendiri.
Lelaki itu tak langsung pulang, dirinya mampir sebentar ke pemakaman. Vano meletakkan bunga-bunga itu di atasnya, tak semua dia bawa, hanya dia ambil satu per-ikatnya. Sebelum beranjak pergi dirinya mengirim doa untuk sahabatnya itu.
Hujan mulai berjatuhan membasahi tanah-tanah pemakaman itu. Vano menatap nanar menatap tulisan bernama Bryan itu, dirinya teringat ketika anak itu tak mau menggunakan marga Adijaya. Ternyata sama saja, marga apapun itu ujungnya hanyalah almarhum.
"Hujan, Bry. Gue harap lo gak kedinginan."
Vano bergetar, air matanya turun perlahan. Dia sangat tahu jika Bryan biasanya langsung jatuh sakit ketika terkena air hujan. Hanya pelukan sang Mama yang membuat anak itu merasa nyaman, tapi sekarang dia hanya sendiri.
"Bryan, jaga kesehatan!" ucap Vano pelan lalu beranjak pergi.
•••SambungMenyambung•••

KAMU SEDANG MEMBACA
Bryan's
Teen Fiction"Lo jangan cantik! Ntar pada ngira pacar gue bukan babu gue." -ENDING •ALUR CERITA ANTIMAENSTREAM •MENGANDUNG KEBENGEKAN + BAWANG |Sampul= Baekhyun Exo. |Sequel dari GIORSA(bisa dibaca terpisah)