19.

1.1K 142 27
                                    

Seperti biasa, saya sangat membutuhkan vote dan komen.

Pagi ini cuaca tak seperti biasanya, langit tampak mendung bersama gerimis-gerimis kecil, semesta seakan turut berduka dengan kepergian anak itu. Di makam itu sangat ramai dengan orang-orang yang ingin menyaksikan lelaki tersebut dikebumikan. Tak ada yang bahagia saat itu bahkan tukang gali kubur yang mendapat rezeki sekalipun ikut menitihkan air matanya. 

"Jangan! Putraku mau dibawa kemana? JANGAN!" teriak Geysa ketika tanah itu sudah menutupi jasadnya.

"Bryan...." rintihnya pelan.

"Papa, Bryan kenapa ditimbun tanah? Dia kenapa? Bryan, bangga kamu pergi ninggalin Mama? Bangga kamu?!"

Giorlan menahan tubuh istrinya itu agar tidak terjatuh, perempuan itu terus memberontak dan berteriak tak karuan.

"Anak kita, Pa! Dia udah pergi... Gak! Ini bohong! Bryan masih hidup!  Bryan!"

Satu persatu meninggalkan pemakaman itu, Geysa terus berteriak dan mengobrak-abrik gundukan tanah itu dengan tangan-nya. Perempuan itu terus menjerit dan menangis di sana serta memukuli dadanya yang sangat sesak, lebih dari itu.

"Bryan! Kenapa bukan aku aja yang pergi?! Kenapa kamu nolongin aku, sedangkan hidup aku udah gak akan lama lagi?! KENAPA? JAWAB BRYAN!"

Melandi bertanya dengan amarah dan sedih sekaligus. Yang difikiran Melandi hanyalah 'andai saja lelaki itu tak menolongnya, mungkin keadaan tak se-menyedihkan saat ini'. Beribu kali ia mengalahkan dirinya sendiri, keadaan tidak akan pernah berubah, lelaki itu sudah pergi.

"Bryan! Jangan bercanda! Bry, udah bosen main sama gue? Bryan..." Vano memandang kosong gundukan tanah tersebut, sahabat yang dari dulu selalu menemaninya kini sudah kembali ke rumah aslinya.

"Bryan, lo bener pergi? Janji gue bakal berubah kalau lo ngaku ini cuma boongan," ujar Arga pelan.

Safa berlari dan memeluk makam kakaknya itu, dia tak bisa menitihkan air mata setelah mendengar kakaknya telah tiada. Dia merasa sakit tetapi tak bisa menangis.

"Bang, apa abang peluk Safa kemarin itu untuk perpisahan? Bang, Safa gak bisa nangis rasanya lebih tersiksa!"

"BRYAN!" teriak Geysa dengan suaranya yang serak, setelahnya perempuan itu tergeletak pingsan disamping makam anaknya.

"Anter pulang dulu!" ucap Giorlan pada Satria dan juga Vano.

Tak tersisa siapapun di pemakaman itu kecuali Giorlan, lelaki itu akhirnya bisa menangis setelah semuanya kembali. Giorlan tak percaya membaca nama itu, semua terasa begitu cepat, anak itu hanya tinggal nama.

"Bry, beneran pergi, ya?" tanya Giorlan.

Lelaki itu memandang makam di samping tempat Bryan, Giorlan merasa hidupnya hancur saat itu juga. Tiga makam berjejer, dan ketiganya adalah orang paling berharga dihidupnya, Ibu, sahabat, dan anak.

"Putra, Mama, kalian pergi ngapain ngajak anak Orlan?" teriaknya keras sampai urat-urat lehernya tercetak jelas.

"Bryan, baru semalem Papa peluk kamu, sekarang cuma liat tanah sama nama kamu."

"Bryan, gabisa ya Papa peluk kamu lebih lama lagi?" tanya Giorlan sayu.

"Papa ganggu, ya? Papa pulang dulu, jaga diri baik-baik."

"Anak Papa tenang disana. Oke!" Giorlan segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai.

Melandi tak pergi jauh dari tempat itu, dia mendengar semua yang dikatakan Giorlan. Perempuan itu menahan diri mati-matian untuk tidak berteriak, sakit kepalanya sedikit mereda ketika Papa Vano memberinya obat, tetapi sakit hatinya kali ini melebihi rasa sakit di kepalanya.

Bryan's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang