22

1K 114 9
                                    

"Bu Tea teh pucuk harum? Kenapa? Anjir, jangan bercanda lu, Fa!" pekik Vano reflek memukul meja di depan-nya.

"Sorry, Om! Vano suka gak tau tempat," ujar anak itu.

"Safa, klarifikasi buru! Udah terlanjur netes nih air mata gue, mana kaga jadi mutiara."

Safa hanya mengangkat bahunya dan menggeleng pelan, dirinya juga tidak tahu apa sebabnya. Saat dirinya membuka handphone sudah banyak berita itu tersebar.

Vano menoleh dan menatap Giorlan yang tampak santai saja seolah tidak terjadi apapun, tapi Vano yakin seratus persen jika Giorlan tau hal itu. Tak lama kemudian datang seorang laki-laki yang tak lain adalah Adijaya, dirinya menyerahkan laptop di meja itu dan memutar salah satu video.

"Om, ini maksudnya apa? Ada sangkut pautnya dengan Bu Tea?" tanya Vano tampak panik.

"Difikir gue bakal diem aja liat Bryan mati?"

"Pa, maksudnya apaan?" tanya Safa yang masih bingung dengan video itu.

"Tanya Azila," jawab Giorlan dan langsung beranjak pergi bersama Ayahnya.

"Tante, Vano pamit dulu. Assalamu'alaikum!"

Vano langsung menancapkan gas untuk menuju markas Garuda, sepertinya Arga juga berada di sana bersama anak-anak lain. Lelaki itu langsung berlari dan mencari keberadaan sahabatnya, namun ternyata Arga disana bersama Azila.

"Woy, Jila!" panggilnya dengan ngos-ngosan.

"Lo tau tentang Bu Tea? Trus itu si Bara api sama Ara? Apa kaitannya sama Bryan? Dia ngapain aja sama Bryan?" Lelaki itu melayangkan beberapa pertanyaan tanpa jeda.

"Lo pilih Bryan apa Bu Tea?" Azila justru bertanya balik membuat Vano sendiri bingung menjawab apa.

"Kalaupun gue pilih Bu Tea, apa dia peduli sama gue? Belum tentu. Tapi Bryan, dia sahabat gue dari orok, meski dia udah gak ada, gue tetep dipihak Bryan."

"Tapi masalahnya, ada apa Bu Tea sama Bryan?"

Azila menghela nafasnya pelan, dia sendiri juga belum sempat bercerita pada Arga. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman suara berisi percakapan Bara dan Ara.

"Ini Ara, tapi apa kaitannya sama Bu Tea?" tanya Vano kebingungan.

"Lo fikir yang selama ini racunin Bryan siapa? Yang nyuruh orang buat nabrak Melan siapa?" pekik Azila.

"Jil, gak usah ngarang coba!" bantah Vano.

"Lo bisa buka mata sebentar? Telinga lo juga! Kalo cuma pakek perasaan cinta lo itu, semua gak bakal mungkin! Sekali-kali pakek otak lo!" jawab Azila dengan sinis.

Vano hanya diam, otaknya masih belum bisa mencerna sepenuhnya apa maksud dari Azila. Mungkin benar apa katanya, selama ini dia hanya memandang Tea dengan perasaan, bukan memakai logika.

"Lo tau kakaknya Melan? Dia pernah berhubungan sama tunangan Bu Tea. Dan lo fikir dia tulus buat tanggung jawab atas anaknya? Semua itu cuma sandiwara."

"Dengan bodohnya kalian tinggalin bayi gak bersalah sama Ayah brengseknya itu? Dia hampir dibunuh, bodoh!"

Tak ada yang dilakukan Vano selain diam dan mendengarkan, jangan lupakan jantungnya yang terpontang-panting mendengar pernyataan tidak masuk akal itu.

"Yang nabrak Bryan? Siapa? Dia suruhan siapa? Dia orang mabuk 'kan?" tanya Vano.

"Mabuk emang, tapi orang di sampingnya engga."

"Siapa? Bu Tea?" tanya Vano was-was.

"Ara."

"Dia suka sama Bryan, buat apa dia lakuin kaya gitu? Tapi bukannya waktu itu yang mau ketabrak si Melan?"

Azila hanya tersenyum sinis, tak ada yang melihat secara langsung kejadian itu, hanya Azila dan Melandi yang ada di sana. Sedangkan Melandi, gadis itu sudah seperti orang linglung melihat Bryan yang bercucuran darah.

"Lo ngasih info jangan setengah-setengah! Dia sahabat gue, bangsat!" pekik Vano yang sudah hilang kesabaran.

"Sek rungokno," sahut Arga santai.

"Lo fikir gue rela? Gue sama Bryan udah lima tahun! Andai aja gue gak nyakitin Bryan dan gak milih Bara, mungkin gak bakal jadi kaya gini," jawab Azila dengan mata yang berkaca-kaca.

Bohong jika Azila tidak mencintai mantan pacarnya itu, lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Bodoh memang, Azila lebih memilih lelaki bejat seperti Bara. Bryan lebih dari cukup, dia humoris dan romantis sekaligus, tampan jangan ditanyakan lagi.

"Lo emang bodoh," ujar Vano.

"Lo juga bodoh," bantah Azila.

"Gue cerdas." Arga ikut menimbrung, masih dengan nada datar dan wajah ketusnya.

"Lo niat ngasih tau apa engga?" tanya Vano yang sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya.

"Gue gak bakal ngasih tau sampai lo sendiri yang sadar."

Vano mengacak rambutnya frustasi, ucapan Azila justru membuatnya seperti orang bodoh. Gadis itu mengatakan tentang Ara dan Bu Tea sekaligus, bahkan membawa nama Bara. Lalu siapa sebenarnya? Ara atau Bu Tea?

"Percuma lo nanya, dia masih menyesali masa lalu," ujar Arga dengan menepuk pelan bahu sahabatnya.

Jika kalian mengatakan Arga berubah, itu benar. Tidak terlalu drastis memang, tapi lelaki itu sedikit lebih terbuka dari biasanya. Lelaki itu sudah mau merespon ucapan orang lain, tidak seperti biasanya yang tampak tidak peduli.

Saatnya membenarkan opini jika seseorang akan lebih menghargai ketika sudah merasa kehilangan. Bukan lagi sebuah opini, tapi itu adalah fakta. Tidak hanya itu, tetapi harus menyadari jika semua orang itu berharga, berprestasi atau tidak, pintar atau tidak, good looking atau tidak dan bahkan berguna ataupun tidak.

Seperti kata dia tepat satu hari sebelum kematiannya.

"Gue berharga, diakui apa enggak, gue itu berharga. Kalaupun enggak berharga, ngapain Mama bertaruh nyawa buat lahirin gue ke dunia? Gue itu berharga, kalo masih butuh bukti, ntar aja kalau gue udah mati."

Terlalu berfikir pendek jika seseorang merasa tidak berharga. Mereka merasa tidak ada lagi yang menyayangi. Tapi bukankah tidak semua hal harus diungkapkan? Cara mengungkapkan kasih sayang setiap orang itu berbeda. Tau apa secret admirer? Ya, barangkali ada sosok yang mencintai dalam diam tanpa kita menyadari.

Seperti kata orang jika dewasa itu bukan hanya perihal umur tetapi mereka didewasakan oleh keadaan. Bukankah seharusnya kita berhenti untuk selalu bersikap naif dan merasa tidak berharga? Banyak yang mencintai kita, sadar ataupun tidak.

Bryan sebenarnya tahu jika dia itu berharga, lantas kenapa dia selalu bertanya-tanya tentang hal itu? Namanya Bryan, lelaki yang selalu penasaran meskipun dia sudah mengetahui jawabannya, rempong memang.

"Jadi lo gak bakal ngasih tau?" tanya Vano memastikan.

"Belum saatnya,"

Vano berdecak kesal, teori yang di awal menurutnya membingungkan sekarang justru terlihat semakin acak-acakan. Ada dua yang sudah pasti, Ara dan juga Bu Tea. Tapi mengingat Ara yang mencintai Bryan, apa mungkin dia melakukan hal itu?

Jika Bu Tea? Ada masalah apa dengan Bryan? Jika perempuan itu membenci Melandi, itu mungkin. Bisa saja dia sengaja menabrak Melandi karena dendam pada Alika, tetapi seperti yang Azila katakan jika yang menabrak adalah Ara.

Jika perihal kecelakaan waktu itu, menurut Vano hal itu adalah suatu yang salah sasaran. Tetapi mengingat tentang racun, sejak kapan Bu Tea meracuni Bryan? Banyak yang belum Vano temukan. Berbeda dengan Giorlan yang ber IQ tinggi, Vano sedikit kesulitan menebak, terlebih Azila yang justru tak kunjung memberitahu nya.

•••sambung menyambung•••

Dikit sekali, next gak? Ntar aku jelasin di part selanjutnya.

Bryan's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang