10. Sosok Mark Lee

19 14 2
                                    

Aku pulang tepat jam 10 malam, baru sampai depan halte dan mulai berjalan sendirian menuju komplek perumahanku yang berjarak memakan waktu 6 menit.

Rok pendek selutut dengan baju kemeja biru pulkadot tanpa lengan, rambut yang acak-acakan, mataku yang sembab, dan yang paling miris aku yang berjalan dengan keadaan hampa tanpa ada satu asa dalam hidupku.

Sepertinya aku menyesali fakta itu. Fakta bahwa Lucy teman satu sekolahku adalah anak tiri dari Daddyku.

Mungkin pandanganku untuk Daddy yang masih bisa aku tolerin, kini berubah menjadi berbeda.

Angin tampak berhembus dari satu arah, berhasil menyapa kulitku. Awan malam ini tampak tak bersahabat. Sepertinya, sebentar lagi hujan turun.

Aku kini memilih duduk pada bangku taman setelah berjalan menyusuri daerah perumahan asri ini. Kedya netraku tampak menyorot keadaan sekitar yang sepi, hingga pandanganku jatuh pada keadaan taman depan komplek, yang hanya ada mainan dan 3 pohon mangga besar menjadi ciri khas taman.

Dulu aku takut kalau malam berada di tempat ini---Tapi sekarang, rasanya aku merasa tempat ini sangat damai dan nyaman karna sepi.

Aku memperhatikan sepasang sepatu kets pink yang diberikan Daddy sebulan yang lalu. Cantik, tapi ntah mengapa bayangan mengerikan Daddy membelikan barang yang sama juga buat Lucy membuatku takut.

Spontan membuka sepasang sepatu dari kaki, membiarkan bertelanjang kaki merasakan dingin semen aspal di malam ini. Bahkan betis kakiku mulai merinding sangkin dinginnya aku agak memeluk diriku, ditambah aku hanya menggunakan rok pendek.

Aku mengeluarkan dompet serta Hp yang ada di dalam tasku. Tersenyum miris menatap slingbag miliku yang juga diberikan Daddy.

Aku meletakan kedua benda bermerek itu, kemudian berjalan 4 meter dari tempatku menuju tong sampah.

Membuangnya.

Seperti gembel, aku mendadak dilemma aku ingin pulang tapi pada nyatanya aku masih takut, karna semua ini udah gak sama lagi.

Aku tersenyum miris, kemudian beranjak meninggalkan taman, berjalan diatas aspal kasar dingin berbatu kecil. Tujuanku ada supermarket dekat halte, dan aku juga tidak peduli penampilanku dimalam hari seperti ini.

"Tuhan, Aku membenci ayahku sendiri."

Aku tersenyum getir setelah melontarkan kalimat itu, seraya menatap langit dengan sendu.





○○○




Berbagai playlist musik mulai terdengar ketika aku mendorong pintu kaca Supermarket. Tampak seorang kasir yang agak kaget karna aku masuk dengan penampilan yang mirip orang gila. Aku mengangkat dompetku dan Hp memberitahunya aku normal.

Suhu di dalam supermarket jujur membuatku agak semakin menggigil, kulitku seakan ditusuk bahkan telapak kakiku agak ngilu sekedar ingin menginjakannya.

Aku kini berjalan menelusuri rak-rak, lebih tepatnya rak minuman.

Kedua mataku jatuh pada lemari berisi minuman keras.

Minuman alkohol?

Aku sering melihat orang-orang biasanya meminum itu dikala mereka stress dan tertekan dalam keadaan apapun.

Apa aku boleh mencobanya???

Tapi usiaku??

Hm, apa salahnya di coba.

Deep Inside Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang