Interogasi

13 1 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Was it a knock that had woken her? Aku tak begitu yakin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Was it a knock that had woken her? Aku tak begitu yakin. Padahal tadi Arkan mengetuk pintu hanya sebentar dan pelan-pelan. Kami berharap Bi Esih, asisten rumah tangga, yang membukakan. Namun, ternyata justru Mamanya Arkan yang berdiri di depan pintu. Ia menyambut kami dengan tangan terlipat di depan dada dan tatapan tajam setajam silet.

"Selamat pagi, Tante!" sapaku dengan senyum kikuk seperti maling ketahuan.

Mamanya Arkan hanya mengangguk singkat, tanpa senyum. Ia malah menoleh kepada anaknya.

"Arkan, jelaskan pada Mama apa yang terjadi? Mengapa kamu nggak pulang semalam? Terus ini malah pagi-pagi balik bareng Noni."

Cowok itu memandang ibunya. "Maaf, Ma. Semalam hujan deras, jalan tol banjir, macet luar biasa. Aku juga capek habis tanding, jadinya terpaksa nyari penginapan," jelasnya dengan nada penuh penyesalan.

"Iya, Tante. Kemarin kan aku nonton Arkan tanding. Untungnya nggak pulang duluan, kalau aku naik kereta nggak tahu deh bakalan terdampar di mana. Soalnya banyak yang banjir, keretanya nggak sampai Kota," tambahku.

Wanita paruh baya itu menurunkan tangannya, tetapi tatapannya masih menusuk.

"Tapi kalian nggak menginap di satu kamar, kan?"

Aku dan sahabatku saling pandang, lalu cepat-cepat menggeleng. Tidak mungkin kami jujur soal yang satu itu. Bisa-bisa sidang kami ini tak ada habisnya.

"Eh, nggak lah, Ma. Nggak mungkin. Lagian Noni juga nggak bakalan mau," jawab Arkan kikuk.

"Syukurlah." Suara napas yang diembuskan keras terdengar jelas. "Terus kenapa nggak telepon Mama?" desak Mamanya lagi.

"HP ku mati, Ma. Nggak bawa charger. Lagi pula saking capeknya aku ketiduran sampai pagi, Ma. Pas pagi-pagi ngecek HP Noni, eh malah ternyata kuotanya habis." Arkan melirikku, meminta dukungan.

Bukan sekali ini aku melihat Mamanya Arkan marah. Beliau akan terus menginterogasi sampai puas, sampai yakin bahwa anaknya bicara jujur.

"Eh, iya, Tan. Aku lupa ngisi paket dataku, semalam masa aktifnya habis," kataku membenarkan.

"Hmmm, terus kenapa kamu nggak antar Noni ke kos dulu baru pulang?" Wanita yang masih memakai daster itu kembali mencecar.

"Keburu lapar, Ma. Uang aku habis buat bayar penginapan semalam," katanya sembari memegang perutnya yang rata.

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menggeleng-geleng lalu tersenyum sebentar. Senyum yang tak kentara.

"Lain kali jangan diulang. Kamu pinjam charger kek, pokoknya harus kabarin Mama. Di sini Mama khawatir sampai nggak bisa tidur," katanya dengan tegas. Intonasi suaranya sudah melembut kali ini.

Arkan mengangkat tangannya di depan pelipis, memberi hormat. "Siap, Ma!"

"Ya sudah, sana minta Bi Esih siapkan sarapan. Mama mau tidur."

Aku dan Arkan lagi-lagi bertukar pandangan, lalu mengeluarkan napas lega. Syukurlah interogasinya selesai. Dengan cepat kami melangkah ke ruang makan.

 Dengan cepat kami melangkah ke ruang makan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
About YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang