Tema: hewan peliharaan adalah pemeran antagonis
"Assalamu'alaikum. Tok. Tok. Tok."
Tergopoh-gopoh aku berlari dari kamar menuju pintu depan. Siapa pula yang bertamu pagi-pagi begini?
Celangak-celinguk, aku mencari seseorang yang tadi mengucap salam. Namun, tak tampak seorang pun. Bahkan hingga kulihat ke depan pagar juga sepi.
Aku mendebas keras sambil memegangi pipi sebelah kanan. Kekesalan membuat gigiku kembali terasa berdenyut-denyut.
"Assalamu'alaikum. Tok. Tok. Tok."
Suara itu kembali terdengar. Untung saja aku masih di teras rumah, setidaknya tak perlu lagi berlari terburu-buru membukakan pintu. Namun, di sini aku sendirian. Mataku memindai, mencari sumber suara.
"Astaga!" Aku menepuk dahi. Ternyata dia tersangkanya, sebuah sangkar burung tergantung di langit-langit teras. "Burung siapa, sih, itu?!"
Suaraku yang melengking membuat seorang pria keluar menghampiriku.
"Ada apa, sih, pagi-pagi udah ribut?"
"Lha ini si hitam kuning ini, pagi-pagi ngerjain aku," jawabku sambil menunjuk sangkar burung.
Seingatku, sampai tadi malam tidak ada burung di rumah ini. Tidak mungkin kan burung ini terbang sendiri sambil membawa sangkarnya?!
"Lucu kan?! Pintar banget ngomongnya."
Aku mencebik. "Cih, lucu apanya?! Punya siapa, sih?"
"Oooo, jadi semalam tu tetangga kita, Pak Danish sekeluarga mau pulang kampung. Terus dia titip burung beo peliharaannya karena di rumahnya nggak ada orang. Sebentar, kok, cuma tiga hari," jelasnya.
Nyuutt. Nyeri gigiku terasa lagi.
"Kok kamu mau aja dititipin gitu? Mana nggak bilang sama aku dulu."
"Ya, nggak enaklah kalau kutolak. Lagian semalam kamu udah tidur," katanya memberi alasan. "Oh ya, nanti tiap pagi tolong dikasih makan, tempat airnya diisi, kalau bisa juga dimandikan dan dibersihkan kotorannya. Makanannya ada di atas meja teras, tu."
Usai memberi instruksi singkat, dia pun meninggalkanku yang masih berusaha mencerna setiap kata-kata yang tadi diucapkannya.
Aku menatap galak burung berwarna hitam dengan lis kuning. Sapu yang ada di dekatku jadi senjata untuk mengancam unggas itu.
"Awas kalau macam-macam lagi, nggak kukasih makan!" ancamku sambil mengangkat sapu ke sangkarnya.
"Nenek sihir. Nenek sihir."
Aku menggertakkan gigi. Membuat gigiku makin nyeri.
"Eh, kurang ajar! Malah ngatain."
Tak cukup sampai di situ, burung beo itu malah terbang keliling kandang hingga membuat bulu-bulu halus dan debu-debu di sekitarnya berhambur ke arahku.
"Nenek sihir."
Hatchi. Aku tak bisa menahan bersin.
Ya, Tuhan! Aku tak tahan lagi dengan burung ini. Segera aku masuk menyusul suamiku.
"Kamu yang dititipin, kamu aja yang ngurus. Aku nggak mau," ujarku kesal.b
KAMU SEDANG MEMBACA
About Yesterday
Short StoryIni adalah kisah lalu antara aku dan dia yang masih selalu menarik untuk diceritakan. Tantangan 28 hari, 28 tulisan. Berisi cerita mini, puisi, sajak, atau apa pun dengan tema random setiap harinya.