Harry sedang berjalan di rerumputan sekolah dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Harry belum menentukan ekstrakulikuler apa yang akan dia tonton.
Bahkan sampai hari ini, Harry belum mempunyai teman. Banyak yang ingin berteman dengan Harry, tetapi ia belum menemukan teman yang benar-benar pas dengannya. Banyak sekali yang sudah mengobrol dengan Harry, tetapi ia selalu merespon dengan 'hehe', 'yeah', dan semacamnya atau hanya dengan tawaan kecil dan anggukan kepalanya.
Harry masih berjalan melihat-lihat sekeliling dan berpikir apa yang akan dia tonton. Lalu, anak perempuan kelas 5 berjalan menghampirinya, Harry berhenti berjalan. "Lo anak baru itu 'kan, ya?"
Ia aneh sekali, pikir Harry. Harry hanya mengangguk menjawab pertanyaan anak itu. Harry pun bingung bagaimana berita tentang ia menjadi murid baru bisa sampai ke anak perempuan tersebut.
"C-can we take a picture?" Tanyanya dengan gugup (lagi), Harry mengangguk lagi tanpa mengucapkan apapun. Harry adalah siswa baru yang bisa dibilang cukup tampan. Memang benar, dia sangat tampan, sebanding dengan keempat siswa paling populer di sekolahnya itu.
Selesai berfoto, siswi itu bertanya, "lo mau nonton apa?"
Kali ini Harry menjawab, "belum tau, lo?'
"Um, g-gimana kalo..." balas anak perempuan itu. "Football?" Harry pun mengangguk lagi. Mereka berdua mulai berjalan bersebelahan. "Anyway, gue grace."
Harry ingin bertanya ada apa dengannya yang tampak terlihat aneh itu, tetapi ia lebih memilih menjawab 'Harry' dengan singkat.
Harry dan Grace pun masuk ke dalam lapangan sepak bola, mereka ditatap berpuluh-puluh orang yang berada di lapangan sepak bola tersebut. Apakah Harry setampan itu? Atau, apakah yang salah dengan dirinya?
Harry merasa sedikit terganggu dengan orang-orang yang menatapnya, tetapi Harry tetap berjalan menaiki tangga tempat duduk, diikuti Grace di belakangnya. Mereka berdua duduk di kursi penonton paling atas.
Harry melihat tim mulai masuk ke dalam lapangan. Harry melihat Zayn, ketua Organisasi Siswa yang ia temui tiga hari yang lalu, ia melihat Zayn berlari kecil memutari lapangan. Harry mendengar dan melihat siswi-siswi meneriakkan nama Zayn dengan baju Maliknya, Niall dengan baju Horan di belakangnya, Liam dengan baju Payne, dan siapa itu? Mata Harry tertuju pada baju dengan nomor punggung 17.
"Everyone!" Malvynn Ardolph, komentator Erdziegel, berteriak melalu microphone-nya yang berada di atas lapangan sepak bola. "Selamat datang di lapangan sepak bola kita!" lanjutnya. "Di sini, hari ini, saat ini, kita akan menyaksikan permainan dari tim sepak bola kita!"
Para penonton pun berteriak memeriahkan lapangan sepak bola tersebut. "Give it up for our main team!" Semua pemain berbaris berjajar di tengah-tengah lapangan sepak bola mengahadap penonton. Setelah para pemain berlari-lari kecil, permainan pun dimulai. "Dan ini dia!"
"One! Two! Three!" Wasit meniupkan peluitnya. Louis, sebagai pemain depan, ia mulai menendang bola. Malvynn pun terus mengomentari setiap pergerakan pemain-pemain di lapangan sepak bola itu.
Dan kini, pertandingan sudah berlangsung selama 35 menit. "Yup! And now," Malvynn berkomentar. "Tomlinson mengambil alih, dia memimpin, mengambil bolanya, terus berlari, terus, terus..." Penonton pun serius melihat Louis yang sedang menggiring bola dengan sangat lincah, begitupun dengan pemain lainnya. "...go, go, go, and..." Malvynn berteriak lagi melalui microphone-nya. "GOAL!!!" Siswa-siswa yang menonton berdiri bertepuk tangan. Dan tentu saja, semua siswi yang menonton semakin berteriak 'Louis'
"Louis," ujar Grace yang berada di samping Harry. Harry terlalu serius memperhatikan permainan (sebenarnya, terutama pada anak yang bernomor punggung 17), sampai lupa bahwa ada siswi ini di sebelahnya.
"Mainnya bagus juga," balas Harry tersenyum dengan singkat.
"Iyalah, pasti! Dia kaptennya!" Grace membalas dengan antusias. Harry tidak membalas apapun, ia hanya menaikkan alisnya dan fokus kembali ke permainan.
Terus waktu berjalan, tak terasa permainan telah usai. Tetapi, semua orang belum meninggalkan lapangan, mereka masih berteriak memanggil nama pemain-pemain tadi.
Teman-temannya merangkul Louis. "Good game, lads!"
Siswa-siswi keluar lapangan sepak bola dan memilih untuk pergi ke kantin, ada juga yang langsung menonton pertunjukan berikutnya.
Harry dan Grace pun juga keluar lapangan sepak bola.
"Erm... gue boleh bagi nomor telfon lo?" Grace bertanya dengan gugup seperti sebelumnya. Harry belum sempat menjawabnya, tetapi Grace sudah memberikan ponselnya ke tangan Harry, terpaksa Harry menuliskan nomor ponselnya di ponsel Grace.
"Erm... H-Harry..." Grace membalikan badannya memanggil Harry. Harry tidak menyaut, dibalas dengan tatapan Harry ke mata Grace yang membuat Grace memerahkan pipinya. Harry sangat bingung apa yang salah dengan siswi ini. "D-do you have... erm, a-a girlfriend?" Grace bertanya sambil memainkan jarinya yang bergetar. Harry hanya menggeleng, ini membuat Grace senang dan menjadi semakin salah tingkah. "S-so... sekarang kita mau ke mana?"
"Lo duluan aja, gue masih mau di sini," balas Harry.
"Erm... o-okay. See you, then," balas Grace. Grace agak sedikit bingung dengan Harry, tetapi ia pergi meninggalkan Harry dengan wajah yang gembira.
Harry melihat Grace sudah tampak terlihat menjauh dari pandangannya. Lalu, Harry memandang sekelilingnya, ia melihat sebuah pohon yang rindang dekat lapangan sepak bola. Harry menghampiri pohon tersebut, ia duduk bersandar di bawahnya. Harry mengeluarkan iPods dan earphone-nya, ia memasukkan kabel earphone ke dalam iPods-nya, memakai earphone tersebut di kedua telinganya. Lalu, Harry memutar playlist favorite-nya dan mulai menutup matanya di bawah pohon tersebut.
*Author's Note: Hey, guys! I'm so sorry this chapter is a little bit shorter than before, because I'm writing this on midnight and I'm hungry, but this is 1 AM. So, I hope you guys enjoy and like this part as I enjoy write all of these :) Goodnight, all!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hush Your Cry and Dry Your Tears Away • Larry Stylinson
FanfictionNiall, Liam, dan Zayn ingin sekali mencarikan wanita untuk temannya yang satu ini, Louis. Sudah 7 tahun Louis berada di Erdziegel, ia sama sekali tidak menemukan pasangan yang cocok. Dan, pada akhirnya, di tahun terakhirnya ia di Erdziegel ia menemu...