13# Kuatkan Kami

75 28 66
                                    

"Tidak ada yang tau pasti kapan warna-warni pelangi berubah menjadi hitam."

***

"Kafenya rame banget ya, Kal." bisik Vivi pada Haikal yang duduk tepat disebelahnya.

"Biasanya lebih rame dari ini. Banyakan anak senja yang nongkrong." jawabnya yang juga berbisik. Vivi terkekeh.

"Kalo mau nambah, silahkan loh. Pesen aja." sahut Galih.

"Dibayarin sama yang punya kafe. Kembungin perut dulu di sini." timpal Haikal cengengesan.

"SAIIKKKKK." sahut Okta kegirangan.

"Vivi." panggil Adya

"Iya, Bang?"

"Jangan kaku dong. Santai aja~"

Wajah Vivi memerah. "Lagi penyesuaian, Bang."

"Nggak usah malu-malu kucing lah, Vi. Lo kan sebelas dua belas sama dia." ledeknya. Kedua mata Galih melirik Haikal yang tengah menikmati kopi.

"Jodoh nggak ke mana ya, Adik-adik." sahut Bian ikut andil menggoda.

"Bapak sama Mama jadi dijemput Pakde Tomo?" tanya Haikal.

"Si Wawan yang jemput jadinya. Pakde Tomo mendadak nggak bisa karena mesti nganterin Bude ke rumah sakit." jawab Bian.

Haikal ber-oh panjang dengan kepala yang ikut memanggut.

"Abang tiba-tiba kangen banget sama Bapak." ujar Adya. Matanya menatap kosong pada cangkir kopi miliknya yang sudah kosong.

"Ng? Bapak baru take off sebelas menit lalu loh, Bang. Jangan lebay." timpal Haikal.

"Tapi ada rasa nggak tenang gitu di hati." jawabnya lirih. Dahinya berkerut, mencoba mencari tahu alasan dibaliknya.

"Nanti kita telfon Bapak kalo udah landing." ujar Bian menenangkan.

Suasana tiba-tiba hening. Anak-anak Pak Rudi saling melempar pandangan penuh tanda tanya saat melihat Adya yang tiba-tiba melamun-- tak terkecuali dengan Okta--. Netra Vivi menatap teduh penuh tanya pada Bang Adya. Ia teringat kembali dengan cerita-cerita dan nasihat dari Bapak dan Mama Haikal, membuatnya menebak-nebak kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Hatinya merasa gelisah.

Haikal menyadari kekasihnya yang juga ikutan melamun. Air wajah gelisah Vivi sangat nampak hingga membuatnya bertanya-tanya.

"Kamu kenapa?" tanyanya lembut.

Vivi tak bergeming. Ia terlihat sedang berpikir keras dalam lamunannya. Sebelah tangan Haikal menyelinap di balik meja, menggenggam kedua tangan Vivi yang tengah mengepal di atas lutut. Vivi terbangun dari lamunannya dan perlahan mengangkat kepala. Menatap awan putih yang bergerak lamban terbawa angin di luar jendela kaca.

"Kal?" ujarnya lirih.

"Iya, Sayang?" 

"Aku boleh tanya?"

"Sure. Tanya aja." 

"Bapak sama Mama kamu tuh suka banget bawa foto keluarga kalo pergi jauh gitu ya, Kal?"

"Foto?..." tanya nya bingung. "... kayaknya sih enggak ya."

"Bang, Mama sama Bapak suka bawa-bawa foto kalo keluar kota?" tanya Haikal memastikan pada ketiga Abangnya.

"Enggak tau." jawab mereka serempak.

"Tapi kayaknya enggak. Kita nggak pernah liat mereka masukin foto kalo lagi bantuin packing." ujar Adya.

Kuaci + Bunga Matahari: The 1st Story | Haechan [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang