Berjam-jam berlalu, penampilan demo esktrakurikuler yang dimulai sejak pagi belum juga selesai. Ini hari jumat, panas dan berkahnya begitu menyengat. Awan bersinar dengan indah, terkecuali para manusia yang berada di bawah sinarnya, kecut merintih kepanasan.
Beberapa kali demo silih berganti, begitupun percakapan. Saling mengomentari, memuji, dan bersorak dengan ramai di lapangan ini. Tak menghilangkan pula sorakan lelaki yang terus menyeru pada kumpulan gadis yang berada di bawah pohon.
Beberapa kali pula si gadis berponi matanya tak mau diam, terus mencari-cari keberadaan sosok kakak osis. Sesekali terlihat beberapa osis kesana-kemari, dan saat sosok tersebut muncul, keduanya saling bertatapan dan melempar senyum.
Dan beberapa kali, salah satu gadis yang berada di lingkaran itu menghela nafasnya. Sedang seperti ini, ia bergulat bersama logika dan hati. Sedari pagi, ia hanya diam, begitupun si gadis berponi padanya, padahal ia sudah berharap ada banyak tanya yang akan dilontarkan.
Seharusnya, ia faham, Lisa bebas untuk berinteraksi dengan siapapun. Seharusnya, ia tahu, Lisa bebas untuk menyukai siapapun. Seharusnya, ia faham, bahwa Lisa tak perlu bertanya tentangnya, karena memang ia tak melakukan kesalahan. Dan seharusnya ia faham, bahwa ia keterlaluan. Itu yang terus mengoceh, namun, rasa asing terus meninju nya, membuat ia kesal sendiri. Bagaimana bisa, ia tak suka dan kesal saat Lisa tak memperdulikan nya?
"Tumben gak jadi lonte," Joy menyikutnya sembari berbisik.
Ia menghela kembali nafasnya. Ia sedang tak mau bergurau, ia sedang mengatur rasanya yang bercampur tak karuan. Haruskah ia bersikap biasa saja dan kembali seperti kemarin? Namun, bagaimana caranya? Ia sedang dilanda kesal dan egois.
Kembali lagi semuanya bertepuk tangan saat penampilan demo Pmr selesai. Wendy menoleh pada Jennie, akhirnya ia sadar bahwa sahabatnya itu sedaritadi diam.
"Abis batre lo? Apa lupa charger malem?" Celetuknya, praktis membuat Jennie memutar bola matanya.
"Iya nih, tuh liat jamet-jamet," Joy menunjuk sekumpulan pria di seberang. "Daritadi manggil lu, gak tertarik apa?"
"Jennie mana tertarik ama level rendah, emangnya elu lonte!" Sanggah Seulgi, membuat Jennie terkekeh.
"Komen mulu lu jupri!" Joy bersungut sembari memelototinya dan Seulgi mencibir.
"Gue udah punya gebetan," balas Jennie sembari melirik sekilas punggung Lisa yang menghadap ke depan.
Huh, baru aja segini dah galau, gimana kalo pacaran ya? Celetuk Jennie di dalam hati.
Seulgi tersenyum mendengarnya, lalu mengangkat dua jempol untuk Jennie. Jennie yang tak mengerti ikut tersenyum saja, namun tiba-tiba saat Seulgi menepuk pundak Lisa membuat ia melebarkan matanya.
"Baru kenal udah banyak drama, gimana ke depan nya?" Yeri menyikut lengan Seulgi.
"Bikin drakor," sahut Seulgi. "Lalis, gebetan lo tuh," ia berbicara pada Lisa.
"Mulai nih mulai si lonte ribut," cibir Joy sembari melirik pada Jennie.
Jennie berdecak malas dan bergerak menjitak kepala gadis tersebut tak segan-segan. Oke, Jennie akui sekarang, Joy satu frekuensi dengan nya, ceplas-ceplos tak ada akhlak.
"Bacot jablay!"
Lisa mengerjap pelan lantas membalik badan. Ia melempar senyum ramah pada teman-teman nya itu, seakan ia sadar sedaritadi tak banyak bicara dan fokus melempar pandang ke depan--mencari--sosok Irene.
"Jennie tuh, sapa kek, pacar dianggurin," goda Seulgi, praktis Lisa menatapnya dengan sinis.
"Mulut lo!" Tapi setelah itu, ia benar menatap Jennie. Awalnya, Jennie meliriknya, namun langsung memutusnya, mana lagi tak ada senyum membuat Lisa kebingungan dan langsung bertanya-tanya hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Self [Jk.Lm] -COMPLETED
أدب المراهقين"Jennie, aku tak pernah menuntutmu untuk menjadi sang puteri agar pantas di sampingku. Seperti yang kau ucap, kau tertekan saat berusaha terlihat tinggi untukku. Jika begitu adanya, jauhi aku agar kau terbang dengan bebas. Terlepas rasaku dan rasamu...