***
"Aku gasuka ya, kamu sama hanbin terus!"
"Aku gasuka, nini!"
"Aku cemburu!"
"Apa masih gapercaya kalau aku cinta sama kamu? Harus berapa kali aku bilang cinta biar kamu percaya?"
"Ngomong jen!"
Lisa menggoyang-goyangkan pundak Jennie. Jika semua orang di waktu istirahat mengunjungi kantin atau tempat semacam perpustakaan dan lapangan. Tidak untuk Lisa, yang justru menarik lengan Jennie ke belakang koridor, tepatnya di sebuah tangga menuju gudang.
Menyeramkan memang. Namun, untuk Lisa, agar puas menumpahkan emosionalnya.
"Maaf, jennie, maafin aku. Maaf aku dulu langsung pergi saat kamu nyatain, maafin aku jen, aku kaget, aku gapercaya orang se-sempurna kamu bisa suka sama aku. Aku seneng sebenernya, aku seneng, aku cinta sama kamu. Tapi maafin aku jadi pengecut waktu itu,"
Jennie mengalihkan pandangnya. Dari dasar, menyeruak panas, menggetarkan pupil matanya. Baru saja hatinya terasa hangat karena Hanbin yang terus merecok tadi di kelas, bercanda dengannya. Hancur lagi, saat mata Lisa menatapnya.
"Kamu jauhin aku kan? Kenapa kamu harus bohong kemarin? Kamu jalan sama hanbin, aku tau!"
Jennie sedikit tergelak. Namun tiba-tiba emosinya terusik.
"Emang semudah itu lupain kamu? Engga lisa, aku sakit saat mata kamu natep aku kaya gini, sakit!"
"Semua perkataan kamu yang menjadi harapan buat aku, tapi nyatanya itu mimpi semata, apa aku harus pura-pura tegar gitu? Aku capek!"
Nafas Lisa naik-turun, begitupun dengan Jennie. Tetes air matanya jatuh lagi, bak air terjun indah. Entah keberapa kalinya Lisa melihat Jennie menangis. Memilukan, saat kemarin Hanbin membawanya tertawa dan Lisa hanya bisa membawanya menangis.
"Kamu itu gabisa dimilikin lisa, gabisa, jangan kayak gini terus sama aku. Aku juga pengen bahagia!"
"Jadi, setelah aku bilang cinta kamu juga, kamu bakal tetep pergi, gitu kah?" Lisa tersenyum miris.
"Aku terlambat ya, aku terlambat. Kamu pengen pergi jen, kamu pengen pergi?"
Jennie mengusap kasar air matanya. Sebenarnya ia malu, menjadi lemah terus-menerus dihadapan Lisa. Namun bagaimana lagi, matanya seolah panas dan tidak bisa ditahan.
Lisa menghembuskan nafasnya kasar. Mati-matian juga ia menahan air matanya, dan Lisa berhasil. Gadis ini tidak menangis.
"Aku harus gimana biar kamu percaya kalo aku juga cinta sama kamu. Apa aku harus pergi? Itu keinginan kamu?"
"Aku tau aku terlambat, aku tau. Apa gaada kesempatan lagi buat aku. Nini, bukan hanya kamu, tapi aku juga sakit!"
"Aku gamau, aku-----"
"Lisa, udahlah!" Potong Jennie geram.
"Well, kamu pengen pergi?"
Jennie terdiam. Jika logikanya mengiyakan, tidak dengan hatinya yang menjerit. Dengan wajah yang penuh air, Jennie menatap dalam sepasang mata Lisa.
"Jennie," Lisa menarik nafasnya dalam.
"Aku tak pernah menuntutmu untuk menjadi sang puteri agar pantas di sampingku. Seperti yang kau ucap, kau tertekan saat berusaha terlihat tinggi untukku. Jika begitu adanya, jauhi aku agar kau terbang dengan bebas. Terlepas rasaku dan rasamu, aku lebih suka kau tertawa bahagia meski bukan bersamaku, asal menjadi kamu."
"Lisa," Jennie ikut menarik nafas.
"Dan kamu, untukmu. Tak mudah bagiku untuk melepas genggam yang pernah bertaut, meski hanya sebuah bayang untuk kita adanya." Ucapnya dengan senyum pedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Self [Jk.Lm] -COMPLETED
Fiksi Remaja"Jennie, aku tak pernah menuntutmu untuk menjadi sang puteri agar pantas di sampingku. Seperti yang kau ucap, kau tertekan saat berusaha terlihat tinggi untukku. Jika begitu adanya, jauhi aku agar kau terbang dengan bebas. Terlepas rasaku dan rasamu...