***
"Mau sekolah apa mau jadi cabe-cabean kamu?"
Praktis bola mata Jennie membulat. Jika mendengar dari sahabatnya itu candaan, beda rasa jika guru yang berbicara, menusuk ke relung hatinya.
"Apaan sih bu? Saya gapake liptint!" Sungut Jennie kesal.
Bisa-bisanya ia tertahan di gerbang sekarang. Padahal, ia tak memoles mulutnya, lupa karena terburu-buru. Merah? Mungkin merah karena alamiahnya, Jennie tak tahu.
"Berkaca nih!" Guru tersebut menyodorkan kaca ke depan wajahnya.
Jennie bisa melihat pantulan dirinya yang berseri putih dengan mulut sedikit merah, namun benar adanya Jennie tak memoles, sumpah demi apapun.
"Bu, beneran saya gapake!" Jennie tetap ngotot.
"Kalau mau tebar pesona bukan di sini tempatnya, tapi ke pinggir jalan atau diskotik!"
Makin saja emosi Jennie memuncak. Bagaimana bisa guru yang notaben sebagai panutan menyeletuk tak sopan, manalagi mengotot pada pendapatnya, tanpa mau mendengarkan. Ah, jennie lupa, terkadang atasan selalu ingin menang.
Jennie meraih sebuah tissue yang dipegang oleh salah seorang osis di samping guru tersebut. Lalu mengusap kasar mulutnya sembari menatap sengit pada guru tersebut. Tak perduli jika dikatai tak sopan.
"Ibu lihat? Saya tidak memakai apapun!" Jennie menjulurkan sebuah tissue saat sudah mengusap mulutnya, tercetak putih polos.
Guru tersebut terdiam untuk beberapa detik, mungkin memikirkan hal apalagi yang harus dijadikan sasaran agar tak malu dengan pendapatnya yang terpatahkan.
"Kamu pake alis itu?!"
Benar saja!
Jennie benar-benar muak. Katakan saja itu benar adanya. Jennie membanting tissue tersebut ke bawah lantas melengang begitu saja."KAMU TIDAK SOPAN, SIAPA NAMA KAMU?!"
"JOSELINDA PUTRI, IPS ENAM!"
"Tulis, dan suruh temui ibu nanti!" Suruh guru tersebut pada salah satu petugas osis.
"Ta-tapi bu, dia------"
"Jangan bantah!"
Padahal Osis itu tahu kalau Jennie jahil, namun melihat guru di sampingnya sedang dipuncak emosi menulis saja nama yang salah tersebut.
Di sisi lain, rambut yang Lisa kuncir tiba-tiba ditarik oleh seseorang dari belakang. Dengan amat sangat kesal, ia membalik, mendapati pria bodoh memunggunginya sembari memainkan sebuah miniatur bumi alias globe.
Plak!
Lisa menampar kepala pria tersebut cukup keras. Hingga akhirnya, Ten membalik sembari mengaduh."Apaan anjir?" Gumamnya.
Lisa mencibir. "Lu yang ngapain narik-narik rambut gue!"
"Lah? Siapa yang narik anjir?"
"Heleh anjing, diem jadi orang!" Ketus Lisa, lantas kembali mengatur mikroskop untuk kelompoknya.
Ten menyunggingkan senyumnya. Salah satu caranya agar ia kembali akrab dengan Lisa. Sudah jenuh saling asing dan membisu. Rasa nya pun tak kunjung mereda.
Ten melinting lengan jasnya, setelah itu ia menarik lagi rambut Lisa hingga gadis itu mendongak. Setelahnya, tertawa-tawa dan berlari keluar lab.
"RADIKA TENANJINGGGG!!" Pekik Lisa menggelegar sampai seisi kelasnya menutup telinga karena penging.
Di luar, Ten berkacak pinggang sembari tertawa, menunggu si gadis berponi keluar dan mengejarnya. Sembari menunggu, ia mengedarkan pandangnya, terlihat di samping sana murid lain memasuki lapangan dengan ciri baju olahraganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Self [Jk.Lm] -COMPLETED
Dla nastolatków"Jennie, aku tak pernah menuntutmu untuk menjadi sang puteri agar pantas di sampingku. Seperti yang kau ucap, kau tertekan saat berusaha terlihat tinggi untukku. Jika begitu adanya, jauhi aku agar kau terbang dengan bebas. Terlepas rasaku dan rasamu...