Mulai hari ini, apapun cerita yang terjadi akan menjadi memori di kemudian hari.
.
Sepatah kalimat Nararya Anindita,
untuk si cowok tinggi semampai seperti langit
yang persis seperti arti namanya.
Mengenal seseorang lebih dalam mungkin akan menjadi agenda utama bagi Rara sekarang pada Dhanu. Gadis itu telalu awam untuk mengenal laki-laki di depannya yang sekarang sibuk terpaku pada laptop. Ada banyak pemikiran yang berkecambuk secara acak, lalu saling berebut meminta fokus cewek itu sampai ia kepusingan sendiri.
"Nanti naksir tahu rasa."
Rara mengerjap, lalu mendapati Dhanu yang menatapnya sambil tersenyum kecil. "Kalau kamu naksir aku...."
"Kenapa?" tanya Rara ingin tahu.
Dhanu hanya mengangkat bahu. "Ya, nggak apa-apa. 'Kan udah pacaran."
Seketika mata Rara melotot malu. "Nggak usah diomongin kalau yang itu!"
Terdengar kekehan renyah dari laki-laki itu setelahnya. "Mikirin apa?"
Mereka bersitatap selama beberapa detik sebelum Rara langsung berpaling. Pandangannya memilih diarahkan ke meja yang kini dipenuhi oleh berbagai macam makanan dan ponsel yang diletakkan di dekatnya. Pertanyaan yang meluncur dari Dhanu jelas persis dengan apa yang ia pikirkan sejak awal. Ia seperti dalam mode 'blank', berpikir tentang pertanyaan apa yang sebenarnya dirisaukan.
"Kamu tuh kalau udah mikirin sesuatu kayak berat banget, tahu nggak?"
Rara menyengir kala Dhanu bersuara lagi. "Saya tuh kayak kepikiran, tapi nggak bisa dibilang kepikiran juga."
"Nah, apa yang kamu pikirin?"
Pandangan Rara menerawang lagi, mencoba mengutarakan apa yang sejak tadi berkecamuk dalam otaknya. "Nyesel nggak jadian sama aku?"
Dhanu tampak terdiam saat mendengar pertanyaan tiba-tiba Rara, sibuk mencerna pertanyaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Kenapa nanya gitu? Ada yang nggak suka kamu sejak kita jadian?"
Gadis itu menggeleng. "Nggak gitu. Aku cuma... kepikiran sama karakter aku yang harus kamu hadapi mulai sekarang."
"Emang kenapa?" tanya Dhanu penasaran.
"Menurut Mas, aku gimana?" Rara balik bertanya.
"Raya? Cewek yang punya banyak sejuta pertanyaan random yang mungkin harus aku hadapi mulai sekarang."
"Mas capek nggak ngehadapin aku?"
"Kadang capek, kadang nggak."
"Kalau capek, bilang langsung aja ke aku."
"Tapi, capekku nggak penting banget kok."
"Kenapa nggak penting?"
"Ya, aku suka sama tiap pertanyaan dari kamu yang kadang bisa lucu, kadang bisa bikin mikir. Jadi, capekku juga hilang setiap kamu nanya."
Dhanu selalu begitu, mengatakannya tanpa ragu sampai kadang membuat Rara terkejut sendiri. Laki-laki ini mungkin tipe yang selalu mengatakannya dengan jelas, keraguannya nyaris tak bersisa. Andai jantung Rara bisa melompat dari tempatnya, mungkin itu akan sungguhan terjadi.
Akhirnya Rara mengelus dadanya pelan-pelan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang mulai tak wajar. "Ayo, ngomongnya yang benar. Pakai pembukaan dulu kalau ngomongnya mau ngagetin aku."
"Tadi 'kan kamu yang nanya, ya aku jawab lah."
Nah 'kan, tipikal Dhanurendra Akasha sekali, tetapi Rara tidak terlalu keberatan sih mulai sekarang. Ia harus mulai terbiasa mau bagaimanapun, itu adalah bagian dari agendanya setiap menghadapi Dhanu.
"Kamu berat ya ngehadapin aku?" tanya Dhanu.
Sukses menarik kesadaran Rara sampai gadis itu menggeleng tak setuju. "Nggak!"
"Terus?"
"Nggak apa-apa. Aku murni nanya karena mungkin nggak semua orang bisa ngehadapin aku setiap saat kecuali keluarga. Mas tahu 'kan, nggak semua orang ditakdirin punya hubungan yang dekat dengan sesama. Seiring berjalannya waktu, nggak semua orang bisa tahan dengan sikap yang kita punya."
Dhanu mulai mengangguk-angguk paham. "Aku ngerti kayaknya sama apa yang kamu pikirin. Tapi, Raya, ketimbang mikirin itu, semua yang terjadi itu juga bakal jadi kenangan dan pelajaran. Ada banyak momen yang kayaknya lebih penting buat kita lebih bisa mengoreksi diri. Maksudnya, nikmatin aja tiap waktu yang kita punya sambil memperbaiki diri pelan-pelan. Apa yang kita lakuin sekarang, bisa jadi kenangan dan bisa juga jadi pengalaman."
Rara tertegun sejenak mendengarnya, lalu mengangguk setuju sambil menarik tiap sudut bibirnya. "Mas benar."
Ya, jawaban Dhanurendra Akasha atas pertanyaan Rara memang selalu membuatnya terpana bukan main. Ia punya pandangan yang luas, pun setiap berbagi opini tidak menyudutkan, justru seperti membuka pintu dan memberi jalan lewat sudut pandang baru. Tipikal yang akan selalu Rara kagumi mulai sekarang.
"Nikmatin aja, Raya. Mulai sekarang, aku ada di sini. Ayo, kita bikin cerita baru."
Nyaris saja Rara tersedak salivanya saat mendengar celetukan Dhanu yang tiba-tiba, kontan ia melirik ke arah laki-laki itu yang kini sibuk terkekeh renyah melihatnya.
"Jangan sering-sering kaget, kamu harus terbiasa ngehadapin aku mulai sekarang," ungkapnya lagi.
Yah, benar juga.
Mulai sekarang, Rara akan melihat dan menghadapi Dhanurendra Akasha setiap saat. Seperti kebiasaan melihat langit luas yang bisa berubah-ubah, manusia juga begitu. Yang penting, dihadapi dan dijalani lalu akan menjadi memori di kemudian hari sekaligus menjadi cermin introspeksi diri.
Rara ikut terkekeh pelan. "Iya, Mas Dhanu."
[]
Backsound: Maliq & D'Essentials – Memori
Sebuah keajaiban aku ngetik ini karena udah pengen banget update cerpen ini dari hari Sabtu. Astaga ngaretnya lama yaa hahaha! :D Lebih daripada itu, semoga pesannya sampai yaa! Terima kasih sudah baca cerpenku yang ini. Sampai ketemu lagi. semoga kalian sehat selalu dan bahagia selalu. Semangat!
p.s. aku akan ada jadwal wawancara kerja hari ini, deg-degan banget! Mohon doanya yaaa! >_< terima kasih!
-Ai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepucuk Surat
Short Story[LENGKAP] Buku Kedua: Serendipity: Undercover Fate Kumpulan kata yang tersurat dari Dhanurendra Akasha dan Nararya Anindita dalam tiap sepucuk surat. Lewat sepucuk surat ini, mereka akan menemukan banyak sisi lain dalam diri masing-masing dan belaja...